Ibnu Batutah, Sang Penjelajah Legendaris Dunia Muslim

Ibnu Batutah
Ibnu Batutah

MTN, Jakarta – Di sejarah dunia jika menyebut nama tokoh-tokoh penjelajah/petualang terkemuka, pasti merujuk ke Marcopolo, Columbus atau James Cook. Jarang sekali yang menyebut nama Ibnu Batutah. Siapakah dia?

Ibnu Batutah / Ibn Battuta (1304 – 1369) adalah seorang cendikiawan muslim asal Maroko, dan penjelajah yang telah banyak bepergian keliling dunia pada abad pertengahan.

Dalam kurun waktu 30 tahun, Ibnu Batutah telah mengunjungi sebagian besar dunia Islam dan banyak negara non-Muslim, termasuk wilayah Asia Tengah, Asia Tenggara, India, dan China.

Di usia 21 tahun Ibnu Batutah telah menyambangi sekira 44 negara dengan jarak tempuh 120 ribu kilometer.

Ibnu Batutah merupakan ahli hukum dan sarjana. Batutah sempat ditunjuk sebagai hakim di Turki, India dan Maladewa. Posisi Batutah sebagai ahli hukum dan sarjana juga merupakan profesi turun-temurun di keluarganya.

Selama 30 tahun melakukan keliling dunia, Batutah banyak melakukan siar agama Islam. Di negara-negara yang penduduknya masih belum beragama Islam, dia melakukan perdagangan atau kerja sama di bidang lain dengan memasukkan unsur Islam meski tidak secara langsung.

Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 Masehi; tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo.

Ibnu Batutah Pernah Mengunjungi Aceh

Ibnu Batutah pernah mengunjungi Sumatera, tepatnya Aceh. Batutah menceritakan kunjungannya bertemu dengan Sultan Jawa (Sultan Nusantara) dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Malik Az-Zhahir.

Pada abad ke-14 Ibnu Batutah berlayar sepanjang pantai Arakan dan kemudian tiba di Aceh, tepatnya di Samudera Pasai.

Dalam kunjungannya ke Aceh, Batutah menulis Sumatra dengan nama Jawa. Karena saat itu yang terkenal di kalangan saudagar dunia adalah Menyan Jawi.

Namun, yang dimaksud Batutah adalah Sumatera. Pulau di mana Pasai berada. Dalam catatan itu, Ibnu Batutah sampai di pesisir Pasai setelah menempuh perjalanan laut selama 25 hari dari India.

Menurut Ross E. Dunn, sejarawan dari San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, itu hal yang umum digunakan pada zaman pertengahan. Misalnya, penjelajah Italia, Marco Polo menyebut Sumatra sebagai Jawa yang kecil.

“Pulau itu hijau dan subur”, Batutah menulis tanaman yang banyak tumbuh di Pasai adalah pohon kelapa, pinang, cengkeh, gaharu India, pohon nangka, mangga, jambu, jeruk manis, dan tebu.

Saat sampai di pelabuhan, masyarakat setempat menyambut Batutah dan rombongan dengan ramah. Rakyat di sana datang dengan membawa kelapa pisang, mangga, dan ikan, untuk ditukarkan dengan barang lain yang dibawa pedagang yang singgah.

Menurut Batutah, perwakilan dari panglima kesultanan juga mendatangi rombongannya. Pejabat itu menanyakan maksud kedatangan mereka. Setelah itu, rombongan Ibnu Batutah diizinkan mendarat di pantai. Menurut catatan Batutah, perkampungan itu berjarak sekitar empat mil dari kota raja.

Batutah juga mencatat bahwa Sultan Pasai, al-Malik az-Zahir, sangat ramah. Rombongan itu diterima dengan tangan terbuka. Bahkan, sang sultan meminjamkan beberapa ekor kuda untuk rombongan Batutah yang singgah itu.

Batutah juga terkesan dengan keyakinan Sultan al-Malik az-Zahir. Selain terbuka, Sultan juga pecinta teologi. Sultan merupakan penganut Islam yang taat dan memerangi segala perompakan. Sultan juga memberikan perlindungan kepada kaum non-muslim yang membayar ajak kepada kesultanan. Selain tegas, Sultan al-Malik juga digambarkan sebagai orang yang rendah hati.

Batutah berada di Pasai selama 15 hari. Tibalah saatnya mereka berpamitan. Rombongan ini tak bisa meneruskan perjalanan ke China karena kondisi cuaca yang buruk. Batutah dan rombongan pun berpamitan kepada Sultan.

Setelah kunjungannya di Aceh, ia meneruskan perjalanan ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Setibanya di Cina, Ibnu Batutah terus berpetualang ke Peking. Lalu ia menuju Calicut dan meneruskan perjalanannya ke Iran, Irak, Suriah, Mesir, kemudian menunaikan haji di Mekah. Setelah ibadah hajinya yang terakhir, Ibnu Batutah kembali ke kampung halamannya.

Menulis Jurnal Perjalanan Ibnu Battuta

Seluruh catatan perjalanan dan pengalaman Ibnu Battuta selama pengembaraan ditulis ulang oleh Ibnu Jauzi seorang penyair dan penulis buku kesultanan Maroko.

Sultan Maroko saat itu bernama Sultan Abu Inan Faris, dan ia memerintahkan juru tulis Ibnu Jauzi untuk menulis kisah Ibnu Battuta. Battuta pertama kali berkenalan dengan juru tulis Ibnu Jauzi di Granada.

Ibnu Batutah diminta menceritakan apa saja yang dilakukan selama penjelajahannya, untuk dibuatkan laporan penjelajahan yang lengkap.

Ibnu Jauzi menuliskannya berdasarkan paparan lisan yang didiktekan langsung oleh Ibnu Battuta. Buku ini disusun selama dua tahun dan diberi judul “Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar” atau lebih dikenal dengan “Rihla Ibnu Battuta”.

Banyak kisah menarik yang diceritakan dalam buku catatan perjalanan Ibnu Bathuthah ini, terutama cerita-cerita tentang para sultan, para syaikh, sejarah sebuah negeri, falsafah kehidupan masyarakat setempat dan lain-lain.

Dunia Barat Telat Mengenal Kisah Ibnu Batutah

Kisah petualangan Ibnu Batutah sebelumnya hanya diketahui di lingkaran dunia muslim saja. Baru abad ke-19 kisah Batutah diketahui oleh dunia Barat, ketika seorang penjelajah Jerman yang bernama Ulrich Jasper Seetzen (1767-1811) mendapat kumpulan manuskrip di Timur Tengah, yang di dalamnya termasuk tulisan setebal 94 halaman karya Ibnu Jauzi yang mengisahkan tentang Ibnu Batutah.

Kemudian tiga kopi manuskrip lainnya juga didapatkan oleh penjelajah Swiss, Johann Burckhardt.

Pada kisaran dekade 1830-an, saat okupasi Perancis terhadap Aljazair, pihak Bibliothèque Nationale (BNF) di Paris mendapat lima manuskrip jurnal perjalanan Ibnu Batuta , yang dua di antaranya dalam kondisi lengkap, bertanggal 1356 dan memiliki tanda tangan (yang dipercaya) dari Ibnu Jauzi, sang penulis.

Pada tahun 1369, di usia 65 tahun, Ibnu Batutah meninggal dunia, setelah 12 tahun menyelesaikan memoir jurnalnya, Rihlah.