“Masjid Istiqlal Berpotensi jadi Pusat Kebudayaan dan Wisata Religi”

Masjid Istiqlal (foto: kubahmasjid.com)

MTN, Jakarta — Pihak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf) menyatakan kalau Masjid Istiqlal berpotensi untuk dijadikan pusat kebudayaan dan wisata reliji.

Dilansir dari CendanaNews, di Indonesia terdapat 100 unit masjid yang menjadi destinasi wisata religi. Di antara masjid tersebut, Masjid Istiqlal mempunyai potensi sebagai pusat kebudayaan Islam.

Analis Kebijakan Madya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Rinto Taufik Simbolon, mengatakan terdapat 100 masjid di Indonesia yang dijadikan destinasi wisata oleh Kemenparekraf.

Namun sayangnya menurut dia, belum ada yang menjadikan masjid sebagai pusat kebudayaan. Padahal konsep wisata religi di Indonesia itu sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) melalui Dipernas Nomor 50 tahun 2011 tentang pengelompokan daya tarik wisata.

“Masjid dan persilangan budaya yang merupakan hasil cipta karsa manusia. Dan penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari peran persilangan antara budaya yang memunculkan berbagai ragam tradisi,” ungkap Rinto, pada webinar tentang wisata religi di Jakarta, Minggu (17/1).

Dalam kaitannya wisata religi, Rinto menegaskan bahwa Masjid Istiqlal mempunyai potensi pengembangan wisata religi dalam kemasan ‘new Istiqlal’.

“Kami harapkan Masjid Istiqlal melakukan langkah untuk menjadi pusat kebudayaan. Karena masjid adalah tempat persilangan budaya dan sarana silaturahim,” imbuhnya.

Dalam pengembangannya, Rinto mengatakan kalau platform wisata religi Masjid Istiqlal harus didukung media sosial (medsos) untuk menarik perhatian wisatawan muslim domestik maupun mancanegara.

Terpenting lagi adalah interaksi yang menjadikan kunjungan masyarakat luas baik secara fisik maupun melalui media.

Karena menurut Rinto, pengelolaan konten di media dengan baik sangat diperlukan mengingat 95,4 persen akses informasi masyarakat diperoleh melalui media mobile (handphone). Dimana rata-rata durasi penggunaan internet di Indonesia mencapai 8 jam perhari.

Dalam medsos itu ditayangkan berbagai atraksi kegiatan wisata religi yang menarik. Tentu kemudahan akses informasi dan fasilitas penunjang harus menjadi platform medsos Masjid Istiqlal.

“Memanfaatkan medsos sebagai sarana promosi wisata religi adalah langkah yang tepat yang dilakukan Masjid Istiqlal,” ujarnya.

Dia menegaskan, masjid Istiqlal memiliki peluang untuk membentuk Istiqlal Indonesia Halal Center (IIHC) dalam rangka mendukung program pemerintah yang menginginkan Indonesia menjadi pusat halal dunia.

Lebih lanjut disampaikan, bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara wisata religi dan pemanfaatan medsos sebagai media promosi dan komunikasi kepada masyarakat.

Pemerintah akan terus membantu pengembangan wisata religi di Indonesia dalam berbagai tradisi sejarahnya. “Tentu secara khusus pengembangan Masjid Istiqlal sebagai ikon destinasi wisata religi global atau internasional,” pungkasnya.

Wisata Halal Menurut Pengamat Industri Pariwisata

ilustrasi (gambar: Cheria Travel)

MTN, Jakarta – Wisata halal masih saja menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat luas. Tapi seperti apa pendapat pengamat industri pariwisata tentang wisata halal?

Dilansir dari SindoNews, Sapta Nirwandar, pemerhati pariwisata Indonesia dan juga Chairman di Indonesia Halal Lifestyle Center, memberikan opininya tentang topik tersebut.

Berwisata saat ini tidak hanya bagian dari kebutuhan seorang muslim, tetapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup (lifestyle) muslim global.

Pada 2019, menurut The State Global Islamic Economy Report 2020/21, paling tidak sekitar 200,3 juta perjalanan muslim keluar negeri dengan pengeluaran lebih dari USD194 miliar. Dalam laporan tersebut disebutkan juga bahwa Indonesia menempati peringkat lima terbesar outbond (wisatawan ke luar negeri) muslim travel countries setelah Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Kuwait. Adapun top destination Indonesia nomor 6 di bawah UEA, Turki, Thailand, dan Tunisia. Malaysia masih teratas. Dengan daya tarik Indonesia, baik alam maupun budaya yang terkait dengan dunia Islam, mestinya mampu untuk menjadi top destination halal tourism dunia. Dari jumlah kunjungan wisatawan muslim, Indonesia hanya dikunjungi 3,4 juta wisatawan, sedangkan Malaysia mencapai 6,4 juta, dan Thailand 5,2 juta pada 2018.

Kunjungan muslim global ke Indonesia relatif masih kecil dibandingkan negara-negara ASEAN yang muslimnya relatif kecil seperti Thailand, Korea, Jepang. Apalagi dibandingkan Malaysia dan Singapura. Negara-negara ASEAN ini sangat serius menyiapkan pelayanan untuk menjaring wisatawan muslim dari berbagai penjuru dunia agar berkunjung ke negaranya. Hal yang relatif mudah dilakukan yakni menyediakan restoran halal, kafe, dan sarana ibadah untuk mempermudah pelayanan. Juga sudah tersedia guide book untuk pelancong muslim online maupun offline.

Di Kota Bangkok, Thailand, yang terkenal dengan dunia hiburannya tetap tumbuh restoran halal dan hotel halal seperti Al Meroz, hotel bintang empat yang mempunyai slogan “the leading halal hotel”. Demikian juga Jepang, selain menyediakan restoran halal dan fasilitas ibadah bagi umat Islam di bandara, ada pula rest area yang menyediakan tempat ibadah serta makanan halal. Pemerintah Jepang juga sangat memperhatikan pelayanan bagi umat Islam. Di event internasional, Olympic Games yang sedianya diselenggarakan pada 2020 dan diundur menjadi 2021, Jepang akan menyediakan makanan halal, fasilitas ibadah bagi atlet muslim. Betapa hebatnya Pemerintah Jepang.

Lebih lengkap lagi pelayanan hotel-hotel di Turki. Di Antalya, misalnya, tidak hanya menyediakan makanan halal serta fasilitas ibadah, tetapi juga tersedianya kolam renang dan pantai yang terpisah untuk perempuan dan laki-laki sebagai pelayanan yang eksklusif. Di Prancis dan Inggris ada hotel mahal yang menyediakan makanan halal dan fasilitas lain by request untuk pelancong muslim tanpa mengubah jenis fasilitas yang ada di hotel.

Dapat disimpulkan bahwa wisata halal tidak memiliki kaitan dengan agama, hanya menjadi layanan tambahan bagi para wisatawan muslim yang berlibur ke destinasi wisata sehingga tidak mengubah tatanan adat, nilai budaya, apalagi agama di negara-negara tersebut.

Adapun wisata halal, menurut Sapta Nirwandar, adalah pelayanan tambahan, extended services, bagi pelancong muslim seperti penyediaan kebutuhan utama makanan halal, fasilitas ibadah, dan sebagainya di destinasi pariwisata, fasilitas perbelanjaan, museum, hotel, restoran, kafe, serta objek wisata.

Seorang pakar pemasaran dari Inggris, Jonathan AJ Wilson, mengatakan, “My new pragmatic definition for halal tourism: a God-conscious approach to offering Muslims equal access to facilities.”

“Pelayananlah yang menjadi kunci wisata halal (equal acces to facilities) bagi pelancong muslim sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Wisata halal bukan berarti mengubah suatu kawasan sesuai syariat Islam, melainkan destinasi tersebut memiliki fasilitas atau pelayanan yang ramah bagi wisatawan muslim,” pungkas Sapta Nirwandar.

Melihat Potensi Wisata Halal di Jepang

ilustrasi (foto: berbudiwisata.com)

MTN, Jakarta – Jepang merupakan salah satu destinasi favorit para wisatawan Indonesia. Tapi apakah wisata Jepang ramah muslim? Potensinya besar.

Dilansir dari Kumparan, walaupun masyarakat Jepang sendiri didominasi dengan keyakinan Shinto (Sugiyama, 2014), namun Jepang berusaha untuk menyukseskan pariwisata halal mereka. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa penghargaan yang diterima Jepang pada tahun di World Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi.

Pada tahun 2017, Jepang mempunyai 788 tempat makan yang memiliki menu halal. Sebagian besar dari tempat makan tersebut memakai bahan baku yang halal dan cara memasak yang sudah memisahkan halal dan non halal. Sebagian besar tempat makan yang menjual makanan halal sudah ada di kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, Kyoto, Hokkaido, dan lainnya.

Selain tempat makan, tempat ibadah merupkan hal yang penting bagi wisatawan muslim. Terdapat sekitar 241 tempat ibadah yang ada di Jepang. Tempat ibadah tersebut berada di kota-kota besar, bandara, stasiun, café, mall dan destinasi wisata yang lain. Dengan adanya hal tersebut, maka Jepang menjadi negara yang ramah akan turis asing khususnya bagi muslim.

Jepang merupakan suatu negara yang sering dikunjungi oleh masyarakat dunia khususnya warga Indonesia. Menurut Skycanner Indonesia, Tokyo dan Osaka menjadi dua kota yang dimana termasuk ke dalam 10 tempat wisata favorit yang sering dicari di website mereka.

Jepang sendiri mempunyai suatu konsep, yang mana dalam konsep tersebut merupakan ciri khas Jepang, yakni interaksi antara pengunjung dan staff. Metode tersebut merupakan bentuk layanan yang dimana komunikasi menjadi hal yang penting bagi staff dan pengunjung. Hal tersebut dalam kata Jepang disebut dengan Omotenashi (Ota et al, 2016). Omotenashi sendiri mengarah pada tradisi dan budaya Jepang. Namun, seringkali Omotenashi disamakan dengan hospitality.

Memahami Wisata Ramah Muslim Secara Utuh

ilustrasi (gambar: slamic-center.or.id)

MTN, Jakarta – Masih banyak mispersepsi dan salah kaprah mengenai wisata ramah muslim di masyarakat. Seorang Profesor di Malaysia coba memberikan opininya secara mendalam tentang wisata ramah muslim.

Profesor Irwandi Jaswir dari International Institute for Halal Research and Training (INHART), International Islamic University Malaysia, menuliskan opininya secara lengkap mengenai wisata ramah muslim di The Jakarta Post.

“Menurut Laporan Indikator Ekonomi Islam Global 2020, pengeluaran Muslim untuk perjalanan meningkat 2,7 persen pada 2019 dari US$189 miliar menjadi US$194 miliar. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar menempati peringkat tiga negara teratas berdasarkan pembelanjaan. Namun, karena dampak buruk dari krisis COVID-19, pengeluaran konsumen Muslim untuk perjalanan diperkirakan turun 70 persen menjadi US$58 miliar pada tahun 2020,” tulis Irwandi.

Profesor itu menambahkan, kalau Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) memperkirakan bahwa industri kehilangan total US$320 miliar hanya dalam lima bulan – antara Januari dan Mei 2020. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) telah memperkirakan kerugian US$2,2 triliun untuk industri tersebut pada tahun 2020.

Sementara seluruh dunia mengharapkan vaksin COVID-19 sebagai solusi yang ampuh, banyak negara telah memulai persiapan strategis agar industri pariwisata mereka pulih, termasuk pariwisata ramah Muslim.

Dipaparkan oleh Irwandi Jaswir, secara umum, wisata ramah muslim tidak berbeda dengan wisata halal, wisata islami atau wisata syariah. Namun, di beberapa negara, pelaku pariwisata lebih memilih istilah “ramah Muslim” daripada yang lain. Pariwisata ramah muslim diartikan sebagai jenis pariwisata yang menganut nilai-nilai Islam. Dalam keramahan ramah Muslim, disarankan agar semua pengembangan produk dan upaya pemasaran dirancang untuk dan diarahkan pada Muslim.

Layanan perhotelan ramah Muslim seperti maskapai penerbangan, hotel, dan layanan makanan adalah produk pariwisata baru yang berkembang pesat dalam industri pariwisata ramah Muslim.

Jika Indonesia juga berminat mengembangkan pariwisata ramah muslim, salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi adalah mengembangkan kerangka kerja nasional. Pasalnya, pada kenyataannya sudah banyak keluhan konsumen terkait layanan perhotelan. Ini termasuk iklan yang menyesatkan, paket liburan penipuan, persyaratan kontrak yang tidak adil, informasi yang tidak diungkapkan, layanan berkualitas rendah dan tidak efisien, dll.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memeriksa masalah ini dari perspektif konsumen untuk memastikan bahwa layanan perhotelan yang ramah Muslim adalah layanan yang ramah konsumen dan bebas dari masalah tersebut. Dalam melakukan hal tersebut, konsumen perlu dipastikan dilindungi secara memadai oleh peraturan hukum dan administratif.

“Pada 2012, saya dan tim mempelajari kerangka kerja pariwisata ramah Muslim di Malaysia. Untuk memastikan keberlanjutan pariwisata ramah Muslim, beberapa masalah perlu ditangani: Perlunya kerangka hukum dan administrasi terkait layanan perhotelan ramah Muslim secara umum. Kemanjuran manajemen dan administrasi hukum yang terkait dengan layanan perhotelan. Perlindungan hukum terkait dengan keterlibatan industri pariwisata dalam pariwisata ramah Muslim dan perhotelan untuk memastikan keberlanjutannya dan kemampuan untuk bersaing dengan perusahaan multinasional,” ungkap Profesor Jaswir.

“Kami percaya bahwa pariwisata terus memainkan peran kunci dalam perekonomian Indonesia untuk mendorong negara tersebut menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Di Asia Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-10 sebagai negara yang paling banyak dikunjungi di Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO). ) Tourism Highlights Edisi 2019 dengan 15,5 juta kunjungan turis internasional pada 2019. Wisatawan Muslim mencapai sekitar 20 persen dari total turis yang masuk ke Indonesia setiap tahun. Pada 2018, negara ini menarik sekitar 3 juta wisatawan Muslim, menyumbang US$3,9 miliar bagi perekonomian,” tambah Irwandi.

Layanan perhotelan dan pariwisata ramah Muslim adalah segmen hasil tinggi yang memiliki potensi untuk berkembang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan Indonesia.

Ketersediaan makanan halal, keberadaan masjid dan musholla di tempat umum, kawasan belanja bebas pajak dan suasana ramah muslim belum cukup untuk menopang tumbuh kembangnya pelayanan perhotelan ramah muslim di Indonesia. Dalam jangka panjang, ini harus menjadi industri yang diatur dengan ketat yang mampu menetapkan standar global.

Meskipun hampir tidak mungkin untuk memiliki sistem yang sangat mudah dibuktikan, seperangkat undang-undang, peraturan dan mekanisme administratif perlu dikembangkan untuk memastikan pertumbuhan dan keberlanjutannya. Misalnya, definisi dan terminologi yang tepat yang melingkupi industri sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalahpahaman di kalangan konsumen.

Untuk lebih mendukung industri dan untuk menghindari penipuan konsumen, fasilitas dan layanan yang umumnya terkait dengan industri, seperti zona khusus untuk hiburan dan kebugaran, harus didaftarkan dan diatur dengan benar.

“Ini harus menjadi persyaratan bahwa program pelatihan khusus dirancang untuk pemandu wisata e-Muslim. Demikian pula, setiap spa kesehatan dan kebugaran yang mengklaim ramah Muslim harus terdaftar secara hukum dan disertifikasi oleh otoritas terkait,” pungkas Irwandi Jaswir.

Keramahan Taiwan yang Membuat Wisatawan Muslim Ingin Kembali Lagi

Halal Beef Noodle (foto: Taiwan Tourism)

MTN, Jakarta – Beberapa tahun terakhir para wisatawan muslim merasa betah ketika berkunjung ke Taiwan dan selalu ingin kembali. Mengapa bisa begitu?

Dilansir dari Kompas, ada satu hal yang tidak dapat dilupakan oleh wisatawan muslim yang pernah berkunjung ke Taiwan, yaitu keramahan penduduk, tempat, atraksi dan kuliner wisata yang ditawarkan.

Banyaknya wisatawan muslim yang berkunjung membuat Taiwan berbenah. Taiwan mempersiapkan kebutuhan umat muslim seperti tempat beribadah berupa masjid dan mushola di setiap destinasi wisata serta restoran bersertifikasi halal.

Berwisata di Taiwan, para wisatawan muslim kini dapat menemukan ratusan restoran bersertifikasi halal. Cita rasa yang ditawarkan oleh restoran-restoran tersebut sangat beragam, mulai dari chinese food, hidangan Indonesia, Thailand, Turki, hingga western food. Untuk menemukannya, wisatawan dapat memanfaatkan aplikasi Halal Taiwan.

Sebagai rekomendasi, wisatawan dapat mengunjungi Halal Chinese Beef Noodle di No. 1, Alley 7, Lane 137, Yanji Street yang direkomendasikan oleh Bib Gourmand atau Really Good Seafood di No. 222, Section 1, Fuxing South Road, yang direkomendasikan oleh Michelin Plate.

Sebagai alternatif, wisatawan muslim juga dapat bersantap di restoran vegetarian. Taiwan memiliki banyak restoran vegetarian yang tidak menghidangkan daging dan alkohol.

Seperti Apa Potensi Wisata Halal di Sulawesi Selatan?

ilustrasi (foto: Cheria Travel)

MTN, Jakarta – Sulawesi Selatan tentu memiliki objek-objek wisata halal. Tapi seperti apa potensinya?

Dilansir dari SeputarJakarta, Wakil Rektor Universitas YARSI, Prof.Dr.Nurul Huda, SE, MM.,MSi., di sebuah acara diskusi daring memberikan analisanya mengenai potensi wisata untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka sharing knowledge yang dilaksanakan oleh Universitas YARSI dengan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulawesi Selatan, kampus yang berlokasi di Indonesia timur, serta para stakeholder (pengambil kebijakan, pelaku industri pariwisata, akademisi, dan lainnya) pada Selasa (1/12/2020) coba membahas potensi wisata halal di Sulawesi Selatan.

Sharing knowledge ini bersumber dari penelitian mengenai pariwisata halal yang sudah dilakukan oleh Prof.Dr.Nurul Huda, SE,MM.,MSi selaku Ketua Prodi Magister Manajemen, Guru Besar FEB dan Wakil Rektor IV Universitas YARSI.

Acara dibuka oleh pemaparan hasil riset Prof.Dr.Nurul Huda, SE, MM.,MSi. pada tahun 2019. Beliau menyampaikan bahwa riset ini menggunakan pendekatan Analytic Network Process (ANP), yaitu interaksi dan wawancara langsung pada pihak-pihak yang terkait dengan pariwisata dilanjutkan dengan pengisian kuesioner skala 9 yang merupakan tahapan penelitian ANP.

“Gambaran posisi Indonesia dalam Global Islamic Economic Indicator sudah masuk dalam ranking 4 pada tahun 2020 yang sebelumnya di posisi ranking 5 pada tahun 2019. Pada hari ini disampaikan pengembangan model dynamic process untuk mengembangkan pariwisata halal pada daerah tertentu dengan harapan ada hasil yang dapat diperoleh dari metodologi tersebut yang dipandu oleh Ariel Nian Gani, M.Phil., M.Sc.(fasilitator) dan Nova Rini, SE., M.Si (pembawa acara) dalam acara ini,” katanya.

Sementara itu, Dra. Hj. Djamila Hamid selaku Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulawesi Selatan dalam sambutannya menyampaikan kondisi pariwisata halal Sulawesi Selatan. Menurutnya, Sulsel termasuk dalam salah satu dari 10 provinsi destinasi wisata halal di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim sebesar 7,2 juta jiwa dari jumlah total penduduk 8 juta jiwa.

Djamila menuturkan bahwa, Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulawesi Selatan dipercaya oleh pemerintah untuk melakukan sosialisasi pariwisata halal yang merupakan program prioritas Provinsi Sulawesi Selatan pada seluruh lapisan masyarakat.

“Pada dua tahun terakhir, sosialisasi sudah dilakukan pada tingkat provinsi, dilanjutkan pada Kabupaten Bone pada awal Desember 2020,” ucapnya.

Beliau menambahkan, di Sulsel terdapat kesalahpahaman tentang pariwisata halal khususnya di daerah Toraja dikarenakan mereka khawatir untuk merubah kebiasaan tradisi yang ada, padahal intinya wisata halal melayani seluruh wisatawan Muslim dan Non-muslim.

“Dengan adanya FGD ini mudah-mudahan dapat memperluas pengenalan dan saran mengenai wisata halal Sulsel pada masyarakat kedepannya,” sambungnya.

Setelah pemaparan, dilanjutkan dengan pengumpulan ide prioritas dari para penanggap forum mengenai hal yang dapat mengembangkan pariwisata halal di Sulsel yang kemudian diterapkan pada model dynamic pengembangan riset ini.

Salah satu penanggap, Supriadi, S.E.I., M.E.I. (Dosen UIN Alauddin Makassar) menuturkan bahwa pariwisata halal di Sulsel harus didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni, seperti kerja sama dengan masyarakat sekitar untuk menjadi volunteer penyebaran informasi tentang wisata halal.

“Bukan tidak mungkin pembukaan program studi pariwisata syariah di kampus sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, namun butuh waktu kurang lebih empat tahun untuk mencetak tenaga berkualitas seperti itu,” ucapnya.

Penanggap lainnya, Trimulato,SEI.,M.Si (pengguna hotel syariah) menyampaikan, kebijakan pemerintah pusat harus mengakomodasi pengetahuan mengenai sosialisasi pada masyarakat, bahwa dengan adanya pariwisata halal tidak bermaksud “menyusahkan” atau menggantikan budaya/kearifan lokal.

Destinasi Wisata Halal di Banda Aceh Masih Perlu Publikasi Luas

destinasi wisata halal di Aceh (foto: madaninews.id)

MTN, Jakarta – Banda Aceh memiliki banyak destinasi wisata halal, namun masih memerlukan publikasi secara luas, agar bisa lebih banyak lagi masyarakat yang mengenalnya.

Dilansir dari MediaAndalas, Wakil Wali Kota Banda Aceh, Zainal Arifin, saat membuka acara Focus Group Discusion (FGD) Pusat Studi Pemuda Aceh (Pusda) dengan tema “Peran Pemuda Membangun Kota Gemilang Melalui Pariwisata Berbasis Syariah” acara berlangsung di Bin Hamid Cafe kawasan Lampineng, Banda Aceh, Kamis, 31 Desember 2020, mengatakan kalau Banda Aceh memiliki banyak destinasi wisata halal yang masih memerlukan publikasi secara luas.

“Saat ini dapat kita lihat kota yang menerapkan hukum syariat Islam makin ramai dikunjungi. Salah satunya, yaitu Kota Banda Aceh,” ungkap Zainal Arifin yang sering disapa Chek Zainal.

“Bagi masyarakat luar, atau pengunjung luar negeri, semua yang mereka lihat dan rasakan di Kota Banda Aceh akan menjadi pengalaman unik yang tidak pernah mereka saksikan dan temukan di manapun”, kata Wakil Wali Kota Banda Aceh tersebut.

Banda Aceh juga sebagai kota yang peradaban Islamnya paling tua di Asia Tenggara, Kota Banda Aceh memiliki tradisi dan kebudayaan, dengan entitas peradaban nan megah dalam lembaran sejarahnya. “Sebab itu, Banda Aceh harus mampu menjadi daerah terdepan di Indonesia dalam menjadikan Kota Banda Aceh sebagai destinasi wisata halal, bahkan Banda Aceh harus menjadi pusat wisata halal di dunia,” jelas Zainal.

Chek Zainal berharap, para pemuda di Kota Banda Aceh dapat ikut terlibat dalam mendukung dan mewujudkan cita-cita ini. Ada banyak sekali bentuk keterlibatan pemuda Kota Banda Aceh dalam membuat berbagai destinasi wisata halal di kota ini menjadi terkenal.

“Cara yang paling sederhana adalah memviralkan setiap keunikan dan kekhasan yang terdapat di Kota Banda Aceh. Gunakan media sosial, baik melalui Instagram, Youtube, maupun Facebook, terutama sekali para pemuda yang memiliki banyak pengikut untuk tidak henti-hentinya memperkenalkan keindahan dan kekhasan Kota Banda Aceh ke dunia luar,” pungkas Chek Zainal.

Prinsip Wisata Halal Sejalan dengan Tren Wisata Global

MTN, Jakarta – Saat industri wisata terpukul karena pandemi Covid-19, konsep wisata halal justru naik, karena sangat mengutamakan kesehatan manusia. Hal tersebut sejalan juga dengan tren wisata global.

Dilansir dari Republika, Ketua Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) Riyanto Sofyan, mengatakan kalau era pandemi membentuk tren pariwisata global dengan karakteristik untuk lebih memanusiakan manusia.

“Jadi, megatren wisata global itu peduli lingkungan, wisata agar manusia sehat, bukan sebaliknya, merusak tubuh, dan kembali kepada keluarga,” kata Riyanto dalam keterangan resminya.

Untuk wisata halal, pemilik Hotel Sofyan ini menjelaskan, kalau megatren wisata global ini sejalan. Wisata halal memiliki pijakan menjaga tata krama, mengutamakan kesehatan, peduli lingkungan, mengangkat kearifan lokal, hingga menjalankan pariwisata yang berkesinambungan.

Dua sudut pandang wisata ini semakin saling terintegrasi dan mendukung satu sama lain. Di satu sisi, konsep pariwisata yang mainstream, kata Riyanto, bisa berjalan beriringan dengan konsep wisata halal atau wisata ramah Muslim.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Sandiaga Uno yang baru dilantik jadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tengah pekan ini (23/12), mengatakan kalau pihaknya juga diminta oleh Wapres untuk mengembangkan inovasi produk hingga wisata halal.

“Kami dipesankan bahwa inovasi-inovasi produk seperti wisata halal, desa wisata dan kegiatan yang menyentuh aspek ekonomi rakyat ditingkatkan,” ujar Sandi.

Rekomendasi Tempat Kuliner Halal di Perbatasan RI – Timor Leste

MTN, Jakarta – Ada agenda dalam waktu dekat ke Timor Leste dan ingin tahu tempat kuliner halal apa saja yang tersedia di sana?

Dilansir dari Detik, Malaka, kabupaten yang baru berusia tujuh tahun di perbatasan RI dan Timor Leste, juga memiliki beberapa tempat kuliner halal.

Berikut adalah beberapa tempat kuliner halal di wilayah Malaka. Silahkan dicek:

Warung makan Srisolo

Warung makan Srisolo ada di ibu kota Malaka, Betun. Tepatnya, di jalan raya Ahmad. Yani.

Warung Srisolo menawarkan menu beragam yang gampang dijumpai di Jawa. Di antaranya ayam atau ikan lalapan, nasi campur (berupa nasi rames), soto ayam, gado-gado, dan bakso.

“Di sini spesialnya sambalnya. Sambal tidak terlalu pedas dan kaya rempah. Sejauh ini cocok dengan pribumi ataupun pendatang,” ujar Julianto Putra, pemilik warung makan Srisolo, yang berasal dari Sukoharjo.

Menurut Julianto mengatakan kalau harga makanan di Srisolo cukup terjangkau, kisarannya antara Rp14 ribu hingga Rp35 ribu. Sebagai gambaran, harga gado-gado satu porsi Rp15 ribu, nasi campur rendang Rp20 ribu, begitu pula dengan harga semangkok soto dibanderol Rp20 ribu, sedangkan ayam goreng lalapan Rp25 ribu, dan ayam goreng kampung Rp35 ribu.

Warung lalapan Matador

Warung makan Matador merupakan warung makan kaki lima yang berada di Betun. Lokasinya tepat berada di emperan toko ban Matador.

Warung Matador menyediakan menu ikan dan ayam lalapan. Jam buka warung ini menyesuaikan dengan toko tutup, mulai sore hari.

Pemilik warung makan ini, Japar, juga pendatang. Pria asal Malang itu membuka warung makan Matador dalam waktu enam tahun terakhir.

Wisatawan muslim bisa merasakan makan dengan lesehan. Harga makanan di sini cukup bervariasi antara Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.

Warung Makan Sederhana

Warung Makan Sederhana tidak jauh dari Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motamasin, Malaka. pemiliknya, Manto, juga pendatang. Dia asli Klaten dan delapan tahun tinggal di Malaka.

Menu yang disediakan di warung makan ini cukup bervariasi. Manto, mengatakan kalau rendang dan rawon yang menjadi favorit pelanggan.

Selain hidangan nasi dan lauk-pauk, Warung Makan Sederhana di perbatasan Malaka ini menyediakan berbagai macam gorengan. Juga mi instan rebus atau goreng.

Kawasan Kesultanan Banten Berpotensi jadi Destinasi Wisata Halal Internasional

Kawasan Kesultanan Banten (foto: bantennews.co.id)

MTN, Jakarta – Kawasan Kesultanan Banten berpotensi untuk jadi destinasi wisata halal internasional. Seperti apa?

Dilansir dari NewsComID, kawasan Kesultanan Banten di Kota Serang, khususnya Masjid Agung Banten, Kraton Surosowan dan Kraton Kaibon, berpotensi besar menjadi Destinasi Wisata Halal Internasional jika dapat memenuhi sejumlah aspek.

Asisten Staf Khusus (Stafsus) Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia (RI) Bidang Ekonomi dan Keuangan, Guntur Subagja Mahardika, S.Sos., M.Si., menyatakan hal tersebut pekan lalu (18/12), saat memberikan kata sambutan di Kunjungan ke Masjid Agung Banten dan Kraton Surosowan.

Kedua obyek wisata ini terletak di Kelurahan Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. Kawasan ini juga dikenal luas sebagai Banten Lama, yakni saksi bisu dari Kemegahan Kesultanan Banten pada abad ke-15 hingga 17 Masehi.

“Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, dan Wapres Prof. Dr. (H.C.) Drs. KH Ma’ruf Amin, sangat fokus mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Tantangan kita ialah bagaimana menjadikan Kawasan Banten Lama ini, khusus Masjid Agung Banten, Kraton Surosowan dan Kraton Kaibon, menjadi destinasi wisata halal internasional,” tutur Guntur Subagja.

Menurut Guntur, ada banyak aspek yang harus dibenahi untuk mewujudkan Kawasan Banten Lama sebagai destinasi wisata halal internasional.

“Antara lain sertifikasi halal bagi produk-produk UMKM, dan sinergi dengan kawasasan industri halal yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah di Cikande, Banten,” ujar Guntur Subagja.

Persyaratan lainnya, ungkap Guntur Subagja, ialah penerapan aturan protokol kesehatan Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) secara baik dan benar.

“Kita manfaatkan momentum pandemi COVID-19 ini dengan ‘menjual’, dalam tanda kutip, wisata di Kawasan Banten Lama kepada masyarakat internasional,” papar Guntur Subagja yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (INTANI) itu.

Harapannya, ucap Guntur, kawasan Banten Lama ini dapat menjadi sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, khususnya pelaku UMKM dan pariwisata halal di Masjid Agung Banten, Kraton Surosowan dan Kraton Kaibon.