Alquran Berbahan Daun Lontar Berumur 200 Tahun di Semarang
MTN, Jakarta – Di Semarang ada Alquran berbahan dasar daun lontar yang sudah berusia 200 tahun. Seperti apa?
Dilansir dari iNews, di Pondok Pesantren Multazam, Semarang, Jawa Tengah, ada Alquran kuno berbahan daun lontar yang sudah berusia 200 tahun.
Usia Alquran di Pondok Pesantren Multazam, Semarang, Jawa Tengah (Jateng) ini telah berusia lebih dari 200 tahun. Kondisinya pun masih sangat terawat.
Sehari-sehari Alquran ini disimpan dalam lemari kaca agar tak lembab atau terpapar debu.
Aroma daun lontar masih tercium saat kitab suci itu dibentangkan. Deretan huruf arab terangkai indah menyusun surat-surat hingga lengkap 30 juz. Huruf demi huruf pun masih terlihat jelas meski ditulis tanpa harokat. Penulisan Alquran itu memanfaatkan semua bagian pohon lontar; mulai dari daun, pelepah hingga lidinya.
Pelepah digunakan untuk sampul, sementara lidi dimanfaatkan sebagai alat menulis yang dicelupkan pada tinta. Sementara untuk menggabungkan antar daun dan lembar halaman memakai benang. Tebal Alquran itu terdiri atas 22 lembar daun lontar, yang setiap halamannya ditulis bolak-balik dengan huruf arab.
Perawatan Alquran berukuran dua meter dengan lebar 1,5 meter ini dilakukan setiap bulan Ramadan. Setiap lembar daun lontar dibersihkan menggunakan air perasan daun pandan dengan cara dikuas. Selain membersihkan debu, air perasan pandan juga untuk menjaga daun lontar tetap terlihat segar.
Alquran daun lontar ini ditulis oleh Sayyid Abdurrahman, ulama besar asal Pulau Madura. Sebelumnya, Alquran tersebut dirawat enam generasi keturunan dan murid Sayyid Abdurrahman. Hingga tahun 2015, Alquran itu diamanatkan wali santri kepada Ponpes Multazam untuk dirawat.
“Wali santri kami diamahani oleh ibu Nyai dari pondok yang sekian angkatan ternyata mimpi untuk diserahkan ke Ponpes Multazam agar dijaga,” ujar pengasuh Ponpes Multazam, KH Khamami.
Pada masa pandemi Covid-19, ratusan santri ponpes telah dipulangkan ke rumah masing-masing. Kini hanya tersisa sekira lima santri yang enggan pulang, karena masih ingin menimba ilmu agama sekaligus menghabiskan bulan Ramadan di ponpes.