Aspek Koordinasi Hambat Potensi Besar Wisata Halal di Jawa Barat
MTN, Jakarta – Aspek komunikasi dan koordinasi hambat potensi besar wisata halal di Jawa Barat. Seperti apa?
Dilansir dari Pikiran Rakyat, Diskusi Kelompok Terpumpun FGD dengan tema “Struktur Ekosistem Halal dan Analisis Kebijakan Pemerintah tentang Wisata Halal (Kasus Di Indonesia)”, pada akhir Juli 2021 kemarin menyatakan kalau potensi pengembangan pariwsata halal di Jawa Barat dan Indonesia secara umum sangatlah besar, namun, kendala dalam aspek komunikasi dan koordinasi masih membuat impelementasi kebijakan pengembangannya tersendat.
Diperlukan sinergi, kolaborasi, dan kesepahaman antarberbagai pemangku kepentingan (stakeholders) agar iktikad menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama pariwisata global dapat tercapai.
FGD yang digelar secara daring (webinar) tersebut diinisiasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba) dengan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung.
Kegiatan yang dibuka Ketua LPPM Unisba Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie itu menghadirkan narasumber Lusi Lesminingwati, SE., MM selaku Kepala Bidang Industri Pariwisata Disbudpar Jabar, Ir. Dina Sudjana (Ketua Harian Pusat Halal Salman ITB), dan R. Wisnu Rahtomo, S.Sos.,MM (Ketua Jurusan Kepariwisataan STP Bandung, serta H. Herman Muchtar, SE, MM yang mewakili pengusaha.
Selain itu juga hadir anggota tim peneliti Fitri Rahmafitria, SP, MSi, Dr. Efik Yusdiansyah, SH., M.Hum, Ajang Lestari, dan Ferra Martian, M.I.Kom.
Menurut Lusi (Kepala Bidang Industri Pariwisata Disbudpar Jabar), potensi industri pariwisata halal di Jabar sangat besar meski saat ini baru menempati peringkat keenam nasional setelah: Lombok, Aceh, Riau, DKI, dan Sumbar.
“Berdasarkan data BPT pada tahun 2019 kenaikan 20 persen kunjungan wisatawan ke Jabar yakni sebanyak 3,6 juta dengan 1,4 juta (40 persen) dari negara muslim. Ini artinya secara potensi sangat prospektif. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya dengan penduduk mayoritas muslim kita sudah berada dalam situasi yang bagus karena sebetulnya wisata halal itu bermakna extended services,” ungkap Lusi.
Namun, ujar dia, harus diakui masih ada persoalan koordinasi karena justru di lapangan seringkali penyebutan istilah wisata halal justru menjadi sensitive. “Inilah yang saya kira harus dibicarakan dan dikoordinasikan dengan lebih baik lagi,” tambahnya.
Dalam paparannya, Dina Sudjana menegaskan secara konseptual sesungguhnya Indonesia sudah sejak lama menggagas apa yang disebut industri pariwisata halal.
“Saya sempat menjadi auditor halal LPPOM MUI dan menginisiasi kehadiran hotel syariah pertama di Jabar bahkan nasional. Kami juga menginisiasi hadirnya prototipe kantin halal sebagai destinasi wisata kuliner di Kantin Salman ITB,” katanya menguraikan.
Terbukti, kata Dina, Kantin Salman ITB meraih peringkat tertinggi destinasi wisata kuliner nasional. Pada 2014 bahkan Jepang belajar langsung ke Salman untuk memahami bagaimana konsep wisata halal ini.
“Buktinya, Jepang sekarang justru semakin maju dalam mengemas wisata halal ini dan sebaliknya di Indonesia masih sering terjebak pada debat yang tidak produktif,” ujarnya.
Sementara itu, Wisnu Rahtomo yang juga Kepala Unit Center for Tourism Destination Studies (CTDS) Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung mengakui, capaian industri pariwisata halal di tanah air itu jauh tertinggal dengan negara jiran.
Pada tahun yang sama, Malaysia mampu meraih sebanyak enam juta wisatawan, Singapura mendapat empat juta, dan Thailand mencapai lima juta.
Ia menegaskan Indonesia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan lebih banyak wisatawan Muslim. Penyebabnya, Indonesia belum mampu menghasilkan produk wisata halal yang dipercaya oleh turis asing. Padahal, sisi produk itu yang menjadi perhatian utama wisatawan Muslim.
“Jika ingin menjadi pemenang dalam kompetisi ini pelaku usaha industri halal tourism ini mesti mengikuti standar global. Patokan itu berisikan sejumlah indikator yang menunjukkan bagaimana sebuah destinasi bisa diminati,” ungkap Wisnu.
Untuk itu, Wisnu mengatakan Pemprov Jabar sudah membentuk tim percepatan perwujudan destinasi halal dengan sistem yang terintegrasi dan memiliki indikator yang terukur. Pihaknya juga sudah menjalin MoU dengan Kemenparekraf.
“Tim sudah memiliki pilot project yakni destinasi wisata kuliner di Kabupaten Bandung Barat yang sudah mengikuti standar CHSE pariwisata halal, yakni Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar, mengatakan, perkembangan wisata halal hingga saat ini masih terus berkutat di tataran wacana.
“Bagi pengusaha mudah saja ukurannya jadi bisnis atau enggak. Nah, pemerintah harus mampu menjamin dan memfasilitasi ekosistem yang memungkinkan bisnis ini jalan,” katanya.