Mewujudkan Yogyakarta sebagai Destinasi Wisata Ramah Muslim

Yogyakarta (foto: islamic-center.or.id)

MTN, Yogyakarta – Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi besar untuk industri wisata halal. Sayangnya tersebut belum jadi prioritas utama.

Dilansir dari Harian Jogja, pariwisata ramah muslim terus menjadi sorotan sebagai salah satu sektor strategis di Indonesia, termasuk DIY. Sayangnya hal tersebut masih belum menjadi prioritas pengembangan pariwisata di DIY.

Focus group discussion (FGD) yang digelar oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY bersama Bank Indonesia, Dinas Pariwisata DIY, dan Hotel Alana, menggarisbawahi pentingnya sinergi antar-pemangku kepentingan dalam menggarap peluang ini.

Acara ini menjadi momentum untuk merumuskan langkah konkret demi menjadikan DIY sebagai salah satu destinasi unggulan wisata ramah Muslim di dunia.

FGD yang mendiskusikan tentang Pariwisata Ramah Muslim ini, digelar pada Jumat (20/12/2024) siang di Hotel Alana, Sleman.

Acara yang bertajuk Merumuskan Strategi Pengembangan serta Berbagi Pengalaman dan Pengetahuan antar Pemangku Kepentingan ini, diikuti lebih dari 100 peserta yang berasal dari berbagai kalangan termasuk akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan pelaku usaha.

Ketua Departemen Pariwisata Ekonomi Kreatif MES DIY, Budiharto Setyawan menyoroti tantangan yang dihadapi sektor pariwisata DIY. “Pada tahun ini, Indonesia masih menghadapi ketidakpastian dari ketegangan geopolitik global. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2024 tetap kuat di angka 4,95 persen, dan untuk DIY mencapai 5,05 persen,” ujarnya.

Dia juga menambahkan, “Pariwisata memainkan peranan vital sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi di DIY. Namun, ada tren penurunan kunjungan wisatawan akibat tekanan dari kebijakan pemerintah yang membatasi perjalanan dinas, serta kenaikan pajak sebesar 12%.”

Walaupun Upah Minimum Kabupaten (UMK) naik sebesar 6,5%, perlu ada pengkajian ulang terhadap kebijakan ini agar tidak semakin membebani sektor pariwisata.

Ketua Umum MES DIY, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec., dalam sambutannya, sejalan dengan Budiharto yang menekankan pentingnya pariwisata sebagai sektor utama perekonomian. “Kontribusi pariwisata dan pendidik terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY mencapai lebih dari 25%. Pariwisata yang dahulu dianggap kebutuhan tersier kini menjadi kebutuhan primer, khususnya bagi wisatawan mancanegara,” ungkapnya.

Edy menambahkan, “Jogja memiliki kekuatan dalam bidang pariwisata, termasuk Muslim-friendly tourism, halal tourism, dan quality tourism. Tetapi sektor ini harus terus distimulus karena peringkatnya menurun. Pendidikan di Jogja sekarang mungkin sudah berjalan autopilot sehingga tidak membutuhkan fokus yang ekstra, sementara potensi halal tourism DIY inilah yang harus digarap bersama,” jelasnya.

Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) ini juga menjelaskan, “Penduduk Muslim di Indonesia dan global sangat besar sehingga permintaan wisata ramah Muslim terus meningkat. Kita bisa melihat contoh dari Jepang dan Thailand yang telah sukses mengintegrasikan konsep ini ke dalam strategi pariwisata mereka,” katanya.

Menurutnya, DIY telah menunjukkan kemajuan dengan adanya fasilitas seperti musala di mal dan kegiatan pengajian yang tidak mengganggu pengunjung lainnya. “Saya berharap diskusi ini menghasilkan langkah konkret untuk mengembangkan halal friendly tourism di DIY,” pungkasnya.

Sementara itu, Arif Sulfiantono dari Dinas Pariwisata DIY, menggarisbawahi pentingnya inovasi dalam pengelolaan destinasi wisata. “Arah kebijakan pariwisata DIY adalah menuju wisata berkualitas, berkelanjutan, inklusif, dan berbasis digital. Desa wisata di DIY pun terus mendapatkan pengakuan di tingkat nasional maupun internasional,” jelasnya.

Diskusi yang dimoderatori Ketua Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) DIY, Taufik Ridwan juga menghadirkan pandangan Coach Wulan dari MES DIY. Dia menekankan pentingnya dukungan pemerintah dalam memajukan wisata ramah muslim. “ Pemerintah saat ini mendukung perkembangan pariwisata ramah muslim di Indonesia. Saat ini Pariwisata muslim sudah dilirik karena banyak wisatawan yang berwisata ke tempat yang menyediakan fasilitas sesuai keyakinan mereka,” ujarnya.

Selain itu, banyak negara yang sudah mendukung wisata ramah muslim baik di Asia Tenggara maupun negara lainnya.

Dosen UGM, Ghifari Yurishthiadi menjelaskan, “Di Indonesia, konsep wisata halal lebih populer dibandingkan wisata ramah muslim. Keduanya memang mengalami kenaikan setiap tahunnya, tetapi pada 2024, ada penurunan yang cukup jelas dalam popularitas kedua tren ini.”

Dia juga menjelaskan bahwa sebelum pandemi, wisata ramah muslim lebih mendominasi di tingkat global. Tetapi setelah pandemi ada pergeseran tren dimana wisata halal kini lebih banyak diminati dibandingkan wisata ramah muslim.

Lebih lanjut, Ghifari menambahkan, “Sebenarnya, wisata halal dan wisata ramah muslim adalah dua konsep yang sama, yaitu penyediaan fasilitas yang ramah bagi wisatawan muslim. Bedanya adalah inklusivitas, seperti menyediakan makanan yang ramah bagi muslim dan nonmuslim, serta pemahaman tentang kebutuhan khusus wisatawan, seperti tersedianya tempat ibadah seperti musala.”

Terkait dengan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di sektor ini, Ghifari menilai bahwa tidak diperlukan pelatihan khusus bagi pemandu wisata ramah muslim. “Perlu adanya standar kompetensi yang mencakup kemampuan berkomunikasi antarbudaya. Wisatawan juga perlu menunjukkan rasa hormat terhadap pemandu wisata, meski ada perbedaan ideologi atau keyakinan agama,” tutupnya.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *