Dukung Ekspor Produk Halal, MUI Gelar Forum Bisnis

iustrasi (foto: Mina News)

MTN, Jakarta – Demi mendukung ekspor produk-produk halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar acara forum bisnis. Seperti apa?

Dilansir dari Republika, MUI bersama biznIDs (perusahaan jasa mediator pengusaha Indonesia dengan pembeli mancanegara) mengadakan forum bisnis virtual bersama dengan KBRI Beijing dan KBRI Kuala Lumpur, untuk membahas kiat-kiat pengembangan ekspor produk halal Indonesia. Forum tersebut dilakukan melalui Zoom pada tengah pekan lalu (25/8) dan dihadiri oleh para pengusaha Indonesia.

Forum tersebut dibuka oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim. Pada sambutannya, Sudarnoto menjelaskan beberapa kategori produk halal yang diminati pasar internasional, yakni makanan dan minuman, fesyen, pariwisata, farmasi, serta kosmetik. Sudarnoto menyarankan agar para pengusaha Indonesia mengeksplor peluang ekspor produk halal selain di lima kategori tersebut.

Sudarnoto pun menyampaikan harapannya agar Indonesia dapat menjadi pusat produk halal dunia. “Harapan tersebut dapat diwujudkan melalui kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, dan organisasi terkait lainnya, dengan dua pendekatan, yakni yakni diplomasi wasathiyah Islam dan diplomasi halal,” kata Sudarnoto.

“Diplomasi halal merupakan bagian dari second track diplomasi atau diplomasi jalur kedua sebagai kegiatan yang melibatkan para aktor non-pemerintah, mulai dari kelas masyarakat tinggi hingga kelas akar rumput, terbukti efektif membantu pemerintah dalam mempromosikan Indonesia di kancah Internasional,” tambahnya.

Lebih lanjut, Sudarnoto menjelaskan kalau institusi sosial, pendidikan, ekonomi dan kebudayaan berperan penting dalam menjalin dan membangun hubungan kerja sama dengan bangsa atau negara lain baik dibidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik. “Maka dari itu, diplomasi yang dilakukan oleh masyarakat bukan hanya menjadi penting dan strategi tetapi harus segera diimplementasikan,” ujarnya.

Forum kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Duta Besar Indonesia di KBRI Beijing, Djauhari Oratmangun. Ia menyoroti potensi Tiongkok sebagai pasar ekspor produk halal yang potensial. Hal tersebut didasarkan pada nilai pasar produk halal yang besar di Tiongkok yang diperkirakan mencapai 21 miliar dolar AS.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pun bernilai positif, mencapai 2,3 persen pada tahun 2020 dan diprediksi akan mencapai 8,5 persen pada tahun 2021. “Selain itu, pasar masyarakat muslim Tiongkok pun cukup besar, yakni sekitar 22 juta jiwa atau 1,7 persen dari populasi penduduk Tiongkok,” ujar Djauhari.

Untuk dapat merajai pasar produk halal di Tiongkok, Djauhari menyarankan agar para pengusaha Indonesia pantang menyerah karena prosesnya yang panjang. Pemahaman akan regulasi ekspor dan bahasa Tiongkok pun menjadi hal yang penting. “Selain itu, regulasi free trade antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN perlu untuk dipahami agar pengusaha Indonesia dapat melihat peluang yang mendukung ekspor produknya,” paparnya.

Adapun kondisi pasar ekspor Indonesia ke Malaysia dijelaskan oleh Hermono, duta besar Indonesia di KBRI Kuala Lumpur. Selama pandemi berlangsung, menurut Hermono, terjadi peningkatan impor produk makanan olahan di Malaysia. “Pangsa pasar Indonesia sendiri mencakup 8,10 persen dari pasar ekspor produk makanan olahan ke Malaysia pada tahun 2021, berada dalam posisi kelima sebagai negara eksportir utama produk makanan olahan ke Malaysia,” tuturnya.

Hermono menambahkan, dalam hal sertifikasi produk halal, Indonesia dan Malaysia telah memiliki Mutual Recognition Agreement (MRA), mencakup item pemotongan hewan, bahan baku, dan perisa. Hermono menjelaskan bahwa Malaysia berharap agar cakupan item dalam MRA tersebut dapat diperluas sehingga produk-produk halal yang diekspor Indonesia tidak perlu diperiksa lagi kehalalannya di Malaysia.

Pada forum bisnis hari berikutnya (26/8), Sekjen MUI Buya Dr Amirsyah menyampaikan kata sambutan. Ia menegaskan kalau Indonesia harus fokus dalam dua hal. Salah satunya adalah pemulihan ekonomi nasional dengan mengoptimalkan produksi produk halal.

“Indonesia sangat potensial namun secara aktual Indonesia belum mengaktualisasi potensi tersebut, dikarenakan terkendala dua hal yakni dari faktor sumber daya manusia (SDM) yang belum mampu mengagregasi, tata kelola yang baik dan belum bersaing dan membuat satu sistem digitalisasi dalam pemasaran produk-produk Indonesia di kancah lokal dan Internasional, sehingga ekspor produk Indonesia ke negara lain,” ungkap Buya Amirsyah.

Kendala kedua adalah sistem digitalisasi dalam mengoptimalkan ekosistem produk halal dalam pengembangan ekspor dan impor. Jika kedua kendala tersebut dioptimalkan maka Indonesia sebagai pusat bisnis syariah di kancah internasional dapat terealisasi dengan cepat.

Forum bisnis virtual tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Indonesia Trade, Tourism, and Investment Expo dan Indonesia Halal and Sharia Expo 2021 yang berlangsung pada 2 – 30 Agustus 2021. Informasi seputar biznIDs dapat diakses melalui www.biznids.com

Aceh Food Apps, Aplikasi untuk Dukung Wisata Halal di Aceh

Aceh Food Apps (foto: tribunnews.com)

MTN, Jakarta – Pemerintah daerah Aceh meluncurkan aplikasi Aceh Food Apps untuk mendukung wisata halal Aceh.

Dilansir dari SuaraPemerintah, pemerintah daerah Aceh di sela acara virtual Aceh Culinary Festival (ACF) 2021, meluncurkan aplikasi mobile Aceh Food Apps, untuk mendukung wisata halal Aceh.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengapresiasi acara Aceh Culinary Festival (ACF) 2021 digelar secara virtual melalui aplikasi diberi nama ‘Aceh Food Apps’.

Aceh Culinary Festival merupakan event festival kuliner diselenggarakan Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, sebagai upaya mendukung pengembangan Aceh sebagai Destinasi Wisata Halal di Indonesia.

Tahun ini adalah tahun ketujuh diselenggarakannya Aceh Culinary Festival. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ACF 2021 menghadirkan stand pameran yang diisi oleh peserta internasional dan nasional, yang menyajikan makanan halal.

Di masa pandemi COVID-19, Aceh Culinary Festival 2021 mengusung konsep inovasi dan adaptasi yakni dengan memperkenalkan sebuah aplikasi festival kuliner virtual diberi nama Aceh Food Apps.

Melalui Aceh Food Apps, nantinya pengguna aplikasi bisa mendatangi stand-stand pameran makanan favoritnya secara virtual. Dan memungkinkan penggunanya untuk melakukan pemesanan makanan dan mencicipinya melalui layanan pesan antar. Meski demikian, layanan pesan antar sementara ini hanya tersedia untuk wilayah Kota Banda Aceh dan sebagian Aceh Besar.

Menparekraf Sandiaga dalam sambutannya di acara Opening Ceremony Aceh Culinary Festival Goes Virtual 2021, Jumat (27/8/2021), menyampaikan bahwa Aceh Culinary Festival (ACF) 2021 digelar secara virtual melalui aplikasi ‘Aceh Food Apps’ ini adalah festival kuliner pertama di Aceh yang mengusung inovasi baru dan mengacu pada Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability (CHSE).

“Saya apresiasi acara ini dilakukan secara virtual dan selalu mengacu kepada CHSE. Dan Aceh Culinary Festival ini kita harapkan bisa membangkitkan semangat kita,” ujar Sandiaga.

Lebih lanjut, Sandiaga berharap Aceh Culinary Festival bisa selalu menjadi ajang unggulan untuk mempromosikan kuliner khas Aceh di mata dunia.

“Saya juga percaya event ini juga akan membangkitkan peluang usaha dan lapangan kerja seluas-luasnya,” tegas Sandiaga.

Unduh aplikasi mobile Aceh Food Apps di sini.

Menteri BUMN Canangkan Konsep “Halal Hub” untuk Rest Area di Jalan Tol

foto: republika.co.id

MTN, Jakarta – Menteri BUMN, Erick Thohir, mencanangkan konsep “Halal Hub” untuk rest-area di jalan tol. Seperti apa?

Dilansir dari Kumparan, Menteri BUMN, Erick Thohir, mulai mencanangkan konsep halal hub di rest area (area istirahat) di jalan tol. Pencanangan ini dilakukan di Rest Area 72A, Jalan Tol Cipularang, Purwakarta, Jawa Barat, hari ini (28/8).

Dalam kegiatan pencanangan ini, Erick Thohir melakukan peresmian selaku Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah.

Menteri BUMN didampingi oleh Ketua Asosiasi Produsen Halal Indonesia, Aman Suparman, serta Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengelola Rest Area Indonesia, Jimmy Leo Tjandra.

Pencanangan halal hub di rest area ini juga ditandai dengan peletakan batu pertama Masjid Rahmatan Lil Alamin oleh Erick Thohir.

Dengan keberadaan masjid dan berbagai produk halal, nantinya infrastruktur pendukung jalan bebas hambatan diharapkan bisa menjadi salah satu objek wisata halal.

“Ketika rest area ini bisa diseimbangkan industri halal dan lainnya, duduk berdampingan, ini namanya keseimbangan ekonomi,” jelas Erick Thohir.

Erick juga memastikan pemerintah melalui Kementerian BUMN akan mendukung penuh inisiatif konsep industri halal di rest area tersebut.

Pemerintah Gaet Investor UEA untuk Kembangkan Wisata Halal di Aceh

foto: laduni.id

MTN, Jakarta – Pemerintah Indonesia gaet investor asal Uni Emirat Arab untuk kembangkan wisata halal di Aceh.

Dilansir dari Kompas, pemerintah Indonesia berencana untuk gaet investor asal Uni Emirat Arab (UEA) untuk kembangkan wisata halal di Aceh

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan pihaknya bersama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan mengembangkan wisata halal di Provinsi Aceh. Salah satu alternatif pembiayaan investasi untuk pembangunan wisata halal tersebut direncanakan berasal dari Uni Emirat Arab (UEA).

“Kami akan ke UEA dengan rombongan berikut bersama Kemenparekraf, untuk menbahas wisata halal di Aceh. Rencananya akhir tahun ini kalau tidak ada halangan,” kata Bahlil saat Konferensi Pers Nota Kesepahaman Kerjasama di Bidang Penanaman Modal Pada Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pada awal pekan ini (23/8).

Bahlil menambahkan apabila wisata halal di Aceh mencapatkan kucuran dana dari UEA, maka akan berdampak pada ekonomi setempat. Mengingat akibat pandemi virus corona, pariwisata di Aceh jadi sepi pengunjung.

Tak hanya itu, dengan diberlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, investor yang taruh modalnya di Aceh harus melibatkan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Selain itu, dari sisi perizinan investor juga dipermudah dengan adanya Online Single Submission (OSS) Risk Based Approach (RBA) atau OSS berbasis risiko.

Ke depannya, Bahlil berharap, selajan dengan proses pemulihan ekonomi yang berlangsung hingga saat ini, demand pariwisata dapat kembali meningkat. Sehingga, saat wisata halal di Aceh sudah dikembangkan, banyak wisatawan yang datang ke Daerah Istimewa tersebut.

“Sekarang infrastruktur sedang kami kembangkan di sana, untuk mendorong wisata halal ini perizinan juga dipermudah dan kemudian diberikan insentif fiskal dan non fiskal,” ujar Bahlil.

Bahlil menambahkan, salah satu fasilitas khusus yang diberikan kepada sektor pariwisata halal yakni dibebaskannya biaya sertifikat halal dan Standar Nasioanl Indonesia (SNI) yang ditanggung oleh pemerintah.

Turun Peringkat di GMTI 2021, PKS Dorong Kemenparekraf Tingkatkan Wisata Halal

GMTI 2021 (gambar: destinasian.co.id)

MTN, Jakarta – Indonesia turun peringkat di Global Muslim Travel Indeks (GMTI) 2021, Partai Keadilan Sejahtera dorong agar Kemenparekraf tingkatkan wisata halal.

Dilansir dari situs resmi PKS, Indonesia turun jadi peringkat keempat di Global Muslim Travel Indeks (GMTI) 2021, anggota legislatif Partai Keadilan Sejahtera dorong agar Kemenparekraf tingkatkan wisata halal.

Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, mendorong Kemenparekraf agar melakukan strategi pembenahan dan peningkatan wisata halal, supaya Indonesia bisa kembali menjadi destinasi pilihan muslim friendly nomor satu di tahun depan.

“Situasi pandemi memang telah memukul dunia pariwisata secara global. Namun, pariwisata dunia tidak mati, hanya berjalan lebih lambat. Dari sini kita perlu memikirkan strategi agar dalam perlambatan situasi ini kita tetap bisa mengkreasikan berbagai program wisata yang aman dan tetap ‘muslim friendly’, memberi kenyamanan kepada ‘traveler’ muslim,” ujar Ledia.

Beberapa indikator yang digunakan GMTI dalam membuat peringkatan di antaranya: akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan. Di antara turunan dari indikator ini terdapat ketersediaan sarana ibadah juga akses pada penyediaan makanan halal, di samping seluruh indikator lain yang secara umum menjadi nilai plus dalam penyediaan dan pengelolaan wisata. Selain itu rating yang dikeluarkan pada 2021 ini, pihak GMTI juga mengukur kesiapan satu negara dalam membuat rencana pengelolaan wisata di tengah situasi pandemi yang melanda dunia.

“Karena ini adalah ukuran bagaimana satu negara siap mengkreasikan dan menyiapkan program dan destinasi wisata yang ramah muslim, termasuk bagaimana di masa pandemi ini suatu negara punya rencana pengelolaan wisata yang aman secara protokol kesehatan, maka kita perlu introspeksi diri mengapa kita turun peringkat sementara beberapa negara tetap bertahan bahkan ada yang naik peringkat sebagai tujuan wisata para ‘traveler’,” ujar Ledia.

Sekretaris Fraksi PKS ini mengingatkan, meski sedang dalam masa pandemi pihak Kemenparekraf tetap harus secara serius dan sungguh-sungguh menyiapkan destinasi wisata halal agar bisa menarik kembali kedatangan para pelancong muslim dari berbagai negara dan menempatkan kembali Indonesia para peringkat teratas negara tujuan wisata yang ramah muslim.

“Dampak pandemi kan berbeda situasinya pada setiap wilayah sehingga perlu dikreasikan berbagai program wisata yang sesuai dengan status pandemi di wilayah tersebut. Juga untuk persiapan pembukaan destinasi wisata halal pascapandemi karena kan tidak bisa ujug-ujug dibuat setelah pandemi usai tetapi harus disiapkan sejak sekarang,” tambah Ledia.

Saat menyebut perlunya Kemenparekraf menyiapkan program ‘wisata halal’ pada berbagai destinasi dan program wisata Ledia sekaligus mengingatkan agar jangan ada lagi salah persepsi yang bisa memunculkan salah pengertian. Sebab seringkali ketika bicara wisata halal yang muncul adalah salah pengertian seolah wisata halal itu berarti membuka, mengkreasikan sesuatu yang baru, lalu ada perintah dan larangan khusus terkait nilai-nilai agama.

“Padahal bukan demikian. Wisata halal sesungguhnya merujuk pada pengembangan layanan dari yang sudah ada agar memiliki nilai tambah yaitu ‘muslim friendly’. Jadi satu destinasi atau program wisata tetap harus memenuhi syarat umum CHSE; Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment (Ramah lingkungan) dan ketika akan dikondisikan menjadi destinasi atau program wisata halal hanya perlu pengembangan layanan. Artinya program atau destinasi wisata tersebut disiapkan agar pelancong muslim dapat terpenuhi haknya seperti hak untuk mendapat akses makanan halal dan sarana beribadah.” jelas aleg FPKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menyebutkan bahwa konsep pengembangan wisata ‘muslim friendly’ sudah menjadi rencana terstruktur dari berbagai negara di dunia, termasuk negara yang penduduknya minoritas muslim.

“Contoh saja Singapura, Taiwan, Jepang dan Thailand yang menyadari betul besarnya potensi pemasukan devisa dari para ‘traveler’ muslim dunia sehingga mereka sangat serius menggarap program dan destinasi wisata yang ‘muslim friendly’. Karena itu sebagai negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia dan memiliki ribuan program serta destinasi wisata menakjubkan kita jangan sampai tertinggal untuk menjadi negara tujuan wisata yang ‘muslim friendly’ juga.” pungkas Ledia.

Aspek Koordinasi Hambat Potensi Besar Wisata Halal di Jawa Barat

ilustrasi (foto: madaninews.id)

MTN, Jakarta – Aspek komunikasi dan koordinasi hambat potensi besar wisata halal di Jawa Barat. Seperti apa?

Dilansir dari Pikiran Rakyat, Diskusi Kelompok Terpumpun FGD dengan tema “Struktur Ekosistem Halal dan Analisis Kebijakan Pemerintah tentang Wisata Halal (Kasus Di Indonesia)”, pada akhir Juli 2021 kemarin menyatakan kalau potensi pengembangan pariwsata halal di Jawa Barat dan Indonesia secara umum sangatlah besar, namun, kendala dalam aspek komunikasi dan koordinasi masih membuat impelementasi kebijakan pengembangannya tersendat.

Diperlukan sinergi, kolaborasi, dan kesepahaman antarberbagai pemangku kepentingan (stakeholders) agar iktikad menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama pariwisata global dapat tercapai.

FGD yang digelar secara daring (webinar) tersebut diinisiasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba) dengan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung.

Kegiatan yang dibuka Ketua LPPM Unisba Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie itu menghadirkan narasumber Lusi Lesminingwati, SE., MM selaku Kepala Bidang Industri Pariwisata Disbudpar Jabar, Ir. Dina Sudjana (Ketua Harian Pusat Halal Salman ITB), dan R. Wisnu Rahtomo, S.Sos.,MM (Ketua Jurusan Kepariwisataan STP Bandung, serta H. Herman Muchtar, SE, MM yang mewakili pengusaha.

Selain itu juga hadir anggota tim peneliti Fitri Rahmafitria, SP, MSi, Dr. Efik Yusdiansyah, SH., M.Hum, Ajang Lestari, dan Ferra Martian, M.I.Kom.

Menurut Lusi (Kepala Bidang Industri Pariwisata Disbudpar Jabar), potensi industri pariwisata halal di Jabar sangat besar meski saat ini baru menempati peringkat keenam nasional setelah: Lombok, Aceh, Riau, DKI, dan Sumbar.

“Berdasarkan data BPT pada tahun 2019 kenaikan 20 persen kunjungan wisatawan ke Jabar yakni sebanyak 3,6 juta dengan 1,4 juta (40 persen) dari negara muslim. Ini artinya secara potensi sangat prospektif. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya dengan penduduk mayoritas muslim kita sudah berada dalam situasi yang bagus karena sebetulnya wisata halal itu bermakna extended services,” ungkap Lusi.

Namun, ujar dia, harus diakui masih ada persoalan koordinasi karena justru di lapangan seringkali penyebutan istilah wisata halal justru menjadi sensitive. “Inilah yang saya kira harus dibicarakan dan dikoordinasikan dengan lebih baik lagi,” tambahnya.

Dalam paparannya, Dina Sudjana menegaskan secara konseptual sesungguhnya Indonesia sudah sejak lama menggagas apa yang disebut industri pariwisata halal.

“Saya sempat menjadi auditor halal LPPOM MUI dan menginisiasi kehadiran hotel syariah pertama di Jabar bahkan nasional. Kami juga menginisiasi hadirnya prototipe kantin halal sebagai destinasi wisata kuliner di Kantin Salman ITB,” katanya menguraikan.

Terbukti, kata Dina, Kantin Salman ITB meraih peringkat tertinggi destinasi wisata kuliner nasional. Pada 2014 bahkan Jepang belajar langsung ke Salman untuk memahami bagaimana konsep wisata halal ini.

“Buktinya, Jepang sekarang justru semakin maju dalam mengemas wisata halal ini dan sebaliknya di Indonesia masih sering terjebak pada debat yang tidak produktif,” ujarnya.

Sementara itu, Wisnu Rahtomo yang juga Kepala Unit Center for Tourism Destination Studies (CTDS) Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung mengakui, capaian industri pariwisata halal di tanah air itu jauh tertinggal dengan negara jiran.

Pada tahun yang sama, Malaysia mampu meraih sebanyak enam juta wisatawan, Singapura mendapat empat juta, dan Thailand mencapai lima juta.

Ia menegaskan Indonesia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan lebih banyak wisatawan Muslim. Penyebabnya, Indonesia belum mampu menghasilkan produk wisata halal yang dipercaya oleh turis asing. Padahal, sisi produk itu yang menjadi perhatian utama wisatawan Muslim.

“Jika ingin menjadi pemenang dalam kompetisi ini pelaku usaha industri halal tourism ini mesti mengikuti standar global. Patokan itu berisikan sejumlah indikator yang menunjukkan bagaimana sebuah destinasi bisa diminati,” ungkap Wisnu.

Untuk itu, Wisnu mengatakan Pemprov Jabar sudah membentuk tim percepatan perwujudan destinasi halal dengan sistem yang terintegrasi dan memiliki indikator yang terukur. Pihaknya juga sudah menjalin MoU dengan Kemenparekraf.

“Tim sudah memiliki pilot project yakni destinasi wisata kuliner di Kabupaten Bandung Barat yang sudah mengikuti standar CHSE pariwisata halal, yakni Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar, mengatakan, perkembangan wisata halal hingga saat ini masih terus berkutat di tataran wacana.

“Bagi pengusaha mudah saja ukurannya jadi bisnis atau enggak. Nah, pemerintah harus mampu menjamin dan memfasilitasi ekosistem yang memungkinkan bisnis ini jalan,” katanya.

Wagub Jabar Ajak ICMI Kembangkan Wisata Halal di Kawasan “Rebana Metropolitan”

MTN, Jakarta – Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, mengajak Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk ikut berkontribusi dalam mengembangkan kawasan “Rebana Metropolitan”.

Dilansir dari Antara News, Rebana Metropolitan atau Segitiga Rebana memiliki posisi strategis dan sedang dijalankan sebagai mesin ekonomi baru Jawa Barat (Jabar).

Rebana Metropolitan ini merupakan wilayah utara/timur laut Provinsi Jabar yang meliputi tujuh daerah, yakni Kabupaten Sumedang, Majalengka, Cirebon, Subang, Indramayu, Kuningan dan Kota Cirebon.

Penduduk di kawasan Rebana Metropolitan berjumlah 9,28 juta atau sekitar 18,82 persen dari total 49,3 juta jiwa penduduk Jabar per 2019.

“Segitiga Rebana pusat pertumbuhan ekonomi, (termasuk) sektor jasa dan wisata halal. Cirebon punya potensi luar biasa, kami yakin sektor jasa dan pariwisata halal juga merupakan cara dakwah zaman now,” ujar Wagub Jabar, saat jadi pembicara pada Silaturahim Kerja Daerah ICMI Kabupaten Cirebon yang dilakukan secara virtual, pada pekan lalu (5/8).

Apalagi, lanjut Ruzhanul, 90 persen warga Jabar merupakan muslim, sehingga ICMI diharapkan untuk bisa memberdayakan masyarakat untuk menciptakan ekosistem industri jasa dan pariwisata halal.

Dengan konsep memudahkan wisatawan muslim untuk memenuhi kebutuhan mereka saat berwisata, seperti mencari makanan halal, tempat untuk beribadah, dan sebagainya. Maka, masyarakat yang hendak berkecimpung bisa mengambil peran dalam pemenuhan kebutuhan wisatawan tersebut.

Selain itu, Wagub Jabar juga menekankan selain dengan penguatan di sisi tarbiyah (pendidikan), serta terjun ke dunia siyasah (politik), tak boleh ketinggalan umat pun harus bersemangat dalam muamalah (usaha).

Maka sektor jasa dan pariwisata halal menjadi ekosistem yang menarik untuk terus didukung, katanya.

“Tidak cukup paham dengan meningkatkan pendidikannya, serta mendorong umat Islam terlibat dunia perpolitikan, penting juga mendorong masyarakat berkiprah dalam bidang ekonomi,” kata Wagub Jabar.

Dengan begitu, lanjut dia, umat akan berdikari dengan ekonomi yang kuat. Artinya, kata dia, mayoritas masyarakat Jabar muslim, maka peluang ekonomi jangan sampai tidak dinikmati oleh umat Islam.

Potensi Industri Wisata Halal Indonesia Diperirakan Mencapai Rp22 Ribu Triliun

ilustrasi (foto: pariwisatasumut.net)

MTN, Jakarta – Mengingat Indonesia adalah negara muslim terbesar, tak mengherankan kalau potensi nilai industri wisata halalnya sangat besar. Menparekraf memprediksi kalau nilainya sebesar Rp22 ribu triliun!

Dilansir dari Liputan6, Menparekraf, Sandiaga Uno, menyebut kalau potensi nilai industri wisata halal di Indonesia adalah lebih dari USD 1,6 triliun atau sekitar Rp 22,9 kualidriun (kurs 14.334 per dolar AS).

Hal tersebut disampaikan Sandiaga Uno dalam Webinar Nasional sekaligus Pelantikan Pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Komisariat UIN Sultan Syarif Kasim Riau periode 2020-2023, pekan lalu (4/8).

Sandi menilai Industri halal memiliki potensi yang luar biasa, serta mampu mencetak lapangan pekerjaan. Besarnya potensi wisata halal yang dimiliki Indonesia merujuk peringkat Indonesia dalam World Travel and Tourism Console Index tahun 2018.

Indonesia, kata Sandiaga, menempati posisi kesembilan di dunia dan nomor satu di Asia Tenggara. Sedangkan, berdasarkan Globaly Economy Report, terdapat lima negara muslim di dunia yang memiliki potensi wisata halal terbesar, yaitu Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait dan Indonesia.

Namun pandemi Covid-19 memicu kemerosotan. Kontribusi sektor parekraf yang sudah hampir menyentuh lima persen terhadap ekonomi nasional pun kini anjlok.

Alasannya karena wisatawan mancanegara turun sebesar 75% dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.

Tapi Menparekraf meyakini kalau wisata muslim friendly tourism akan berhasil. Hal ini karena pariwisata nantinya akan lebih personalized, customized dan smaller in size; yang mengacu kepada prinsip halal dan thoyib dengan aspek CHSE-kebersihan, kesehatan, keselamatan dan keberlanjutan dari segi lingkungan.

Bortiks, Detektor Makanan Halal, untuk Mendukung Wisata Halal

ilustrasi (foto: Politeknik Negeri Malang )

MTN, Jakarta – Makanan halal adalah salah satu elemen penting dalam wisata halal. Beberapa mahasiswa asal kota Malang berhasil menciptakan alat detektor makanan halal. Seperti apa?

Dilansir dari Tempo, empat orang mahasiswa Politeknik Negeri Malang (Polinema) membuat alat detektor khusus untuk kandungan daging babi, boraks, formalin dan pewarna tekstil pada makanan.

Inovasi ini dilakukan via Program Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta (PKM-KC) di bawah bimbingan dosen Christyfani Sindhuwati. Pembuatan dan pengembangan alatnya dipusatkan di Laboratorium Kimia Dasar dan Analisa Instrumental Gedung AQ Polinema.

Keempat mahasiswa tersebut bernama: Nita Uswatun Chasanah Fauziah dan Putra Muara Siregar dari Program Studi Diploma III Teknik Kimia, Adian Ilham Ramadhan (Program Studi Diploma III Teknik Telekomunikasi) dan Pranda Prasetyo dari Program Studi Diploma IV Teknik Elektronika.

“Alat yang kami kembangkan kami beri nama Bortiks, singkatan dari babi boraks formalin pewarna tekstil. Alatnya kami buat sejak Mei lalu dan ditargetkan selesai September nanti. Bortiks kami buat untuk mendukung pengembangan halal tourism,” kata Nita selaku Ketua tim.

Menurut Nita, pembuatan Bortiks juga dilatarbelakangi kemunculan pandemi Covid-19. Pemerintah memberlakukan beberapa kebijakan yang membatasi kontak antarmanusia, semisal dengan membatasi jam operasional rumah-rumah makan. Kebijakan ini bisa memicu persaingan pasar yang sengit.

Dikhawatirkan sebagian pedagang melakukan kecurangan dengan menggunakan bahan pengawet berbahaya seperti boraks dan formalin, serta pewarna tekstil sintetik pada makanan demi tetap bertahan di tengah pandemi. Sebab, boraks dan formalin membuat makanan bisa bertahan lama. Sedangkan pewarna tekstil berharga murah tapi efektif untuk membuat warna makanan mencolok dan tampak segar.

Menurut Nita, pembuatan Bortiks juga bertujuan membantu masyarakat mengenali makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya, yaitu bahan kimia yang dapat menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan, serta gangguan kronis pada tubuh. “Penjual makanan tidak ingin dirugikan oleh kerusakan produk, yang memicu potensi adanya kecurangan dalam penjualan makanan dengan menggunakan pengawet berbahaya seperti boraks dan formalin,” jelasnya.

Christyfani Sindhuwati alias Titi, sang dosen pembimbing, mengatakan PKM-KC merupakan salah satu hajatan tahunan paling ditunggu-tunggu mahasiswa. Sebagai ajang penerapan hardskill dan softskill, selama pelaksanaan PKM para mahasiswa berlomba memeragakan kemampuan terbaik mereka.

“Saya berharap Nita dan kawan-kawan dapat memberikan performa terbaik dalam pengembangan Bortiks supaya lebih inovatif dan bermanfaat besar bagi masyarakat,” kata Titi. Kehadiran Bortiks juga diharapkan mendukung wisata halal di Indonesia.

Wisata Halal, Konsep Wisata Paling Tepat saat Pandemi

ilustrasi (foto: pikiran-rakyat.com)

MTN, Jakarta – Di saat pandemi seperti sekarang ini, gaya hidup sehat dan higienis adalah sebuah kewajiban. Konsep wisata halal dianggap cocok untuk diterapkan saat pandemi seperti sekarang ini.

Dilansir dari Republika, konsep wisata halal dinilai paling cocok dilaksanakan dalam masa pandemi Covid-19. Konsep wisata ramah Muslim pun telah sejalan dengan konsep cleanliness, health, safety, and environmental sustainability (CHSE), yang kini menjadi standar dalam penyelenggaraan pariwisata pada masa pandemi.

Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan di Kemenparekraf, Rizki Handayani, mengatakan kalau konsep CHSE telah memberikan dampak signifikan pada peningkatan kepercayaan masyarakat untuk berwisata dengan aman dan sehat dalam masa pandemi.

“Jika dikaitkan dengan wisata ramah Muslim, ini sesuai dengan kaidah Islam karena penyediaan fasilitas, pelayanan jadi aman, nyaman, juga sehat,” ujar Rizki di acara diskusi Halal in Travel Global Summit 2021, pekan lalu (13/7).

Wakil Ketua Umum Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI), Wisnu Rahtomo, menyampaikan kalau PPHI tengah mengembangkan konsep CHSE+ untuk pemenuhan kebutuhan Muslim secara lebih lengkap. Tidak hanya dari sisi protokol kesehatan yang sesuai dengan anjuran dalam gaya hidup halal, tapi juga pemenuhan sarana ibadah, seperti sanitasi, keperluan wudhu, dan tempat shalat.

Wisnu mengatakan, konsep ini menjadi nilai tambah pariwisata halal di tengah kondisi pandemi. Secara detail, konsep itu dibagi dalam tiga lapis kategori yang diambil dari pengembangan pariwisata halal, yakni need to have, good to have, dan nice to have.

“Misalnya, level sinergi ini kita ingin terapkan CHSE dengan lapis pertama ada cleanliness, maka plusnya itu adalah toilet muslim friendly dan ada sarana ibadah,” katanya.

Dari sisi amenitas, pelaku wisata juga didorong untuk memiliki sarana-sarana untuk pengelolaan air limbah, ramah lingkungan, dan bertanggung jawab. PPHI akan menggelar pilot project CHSE+ ini di wilayah Cianjur, Bandung, dan Bandung Barat.

Ketua Bidang Industri Bisnis dan Ekonomi Syariah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Bukhori Muslim, menyampaikan, DSN MUI sudah memiliki fatwa pelaksanaan prinsip wisata halal dan telah menerapkan konsep CHSE. Ini karena Islam telah mengajarkan konsep tersebut dalam keseharian.

“Kalau kita belajar fikih pertama kali, bab pertama itu adalah kebersihan. Nilai-nilainya sudah ada seperti yang disampaikan pemerintah dalam program CHSE,” ujarnya.

Ia menyampaikan, konsep CHSE tersebut telah sesuai dengan nilai dasar syariat Islam. Dengan demikian, penerapan standar kebersihan, kesehatan, dan keselamatan orang lain telah sesuai dalam konsep pedoman wisata halal yang sudah ada.