Ertugrul, Peletak Fondasi Dinasti Turki Usmani

Ertugrul Ghazi

MTN, Jakarta – Nama Ertugrul beberapa waktu terakhir kembali populer, terutama berkat tayang serial videonya di YouTube. Siapakah dia?

Ertugrul (1191 / 1198, Ahlat-1281, Sögüt) adalah ayah dari Osman I yang merupakan pendiri Kesultanan Utsmaniyah. Dia adalah pemimpin Kayi yang merupakan marga dari Turki Oghuz. Ketika ia sampai di Anatolia dari Merv (Turkmenistan) dengan 400 orang berkuda untuk membantu Kesultanan Rûm melawan Kekaisaran Bizantium, Ertugrul secara tidak langsung membuat rantai peristiwa yang mengarah pada berdirinya Kesultanan Utsmaniyah. Seperti anaknya, Osman I dan keturunannya pada masa depan, ia sering disebut dengan Ghazi, dia merupakan pejuang yang bertarung untuk Islam.

Pengamat Politik Islam, Dr Muhammad Najib, melalui Republik Merdeka, menuliskan resensi dari serial “Ertugrul Ghazi” (2020), yang sambil membahas sejarah dari Ertugrul itu sendiri.

Serbuan bangsa Mongol ke berbagai penjuru dunia telah mengubah jalannya sejarah, termasuk wilayah Eropa yang dikuasai ummat Nasrani dan Timur Tengah yang dikuasai umat Islam.

Tiga kekuatan besar umat Islam pada waktu itu adalah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Bagdad, Turki Seljuk yang kekuasaannya membentang dari Asia Tengah sampai Anatolia (Turki bagian Asia) termasuk wilayah Timur Tengah bagian Utara, dan dinasti warisan bani Umayyah di Andalusia (Spanyol dan Portugis saat ini).

Dinasti Abbasiyah langsung hancur dengan jatuhnya Bagdad, sementara Turki Seljuk walaupun sebagian besar wilayahnya disapu oleh tentara Mongol, akan tetapi masih mampu bertahan dan mengendalikan kekuasaan atas wilayahnya yang tersisa dari Konya.

Ertugrul anak seorang kepala salah-satu kabilah Turki bernama Kay (IYI) yang dipimpin oleh Sulaimansyah, terus bertahan dan melawan tentara Mongol dengan cara gerilya. Sambil terus bergerak dari Merv di Turkistan ke arah Barat sampai ke Anatolia (Turki Timur). Nahasnya dari arah Barat, dunia Islam diserang oleh Tentara Salib. Bahkan tidak jarang terjadi kerjasama antara tentara Mongol dengan pasukan Salib untuk menaklukan umat Islam. Karena itu tentara Islam menjadi terjepit di tengah-tengah.

Ertugrul yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai Ketua Kabilah saat Sulaimansyah meninggal dunia karena sakit, semakin agresif melakukan perlawanan. Berkat kegigihan dan prestasinya, Sulthan Allaudin Kaikubad yang berkuasa di Konya kemudian mengangkatnya sebagai Kepala sejumlah kabilah Turki yang berada di wilayah itu.

Selain itu memberikan hadiah sebidang tanah di Karaca Dag dekat pegunungan Angors (Ankara) yang subur yang berada paling Barat dari wilayahnya, untuk ditempati Erthugrul dan sukunya secara permanen. Dengan berada di lokasi ini, Kabilah Kay yang dipimpin Ertugrul diharapkan menjadi benteng penjaga wilayah perbatasan kekuasaan Turki Seljuk di sebelah Barat, yang berbatasan langsung dengan wilayah Bizantium yang dikendalikan dari Konstantinopel (kini Istanbul). Dengan dukungan Sulthan Allaudin, Erthugrul dan pasukannya bukan hanya mampu mempertahankan wilayah perbatasan. Ia terus mengadu taktik dan bertempur melawan tentara Salib, sehingga wilayah yang dikuasai Kesulthanan Turki Seljuk dari waktu ke waktu bertambah luas ke arah Barat.

Saat Kesulthanan Turki Seljuk berhasil dihancurkan oleh pasukan Mongol, menyebabkan kabilah-kabilah Turki kehilangan induk. Putra Erthugrul yang bernama Usman yang menggantikannya, kemudian mendeklarasikan Kesulthanan Turki Usmani yang dimaksudkan untuk meneruskan dinasti Turki sebelumnya. Kesulthanan ini mampu bertahan selama 8 Abad dengan lingkup wilayah yang sangat luas di Asia, Eropa, dan Afrika.

Jika sebelumnya nama-nama Sulthan Turki Usmani yang terkenal dan sering disebut seperti Usman Al Ghazi sebagai Sulthan pertama, kemudian Muhammad Alfatih yang berhasil merebut Konstantinopel yang menjadi ibukota Bizantium (Romawi Timur ), serta memperluas wilayahnya ke kawasan Eropa, serta Sulaiman Alkanuni yang berhasil membuat sistem manajemen Kesulthanan ketika wilayahnya sudah sangat luas.

Kini orang mulai mengetahui tokoh penting lain yang bernama Ertugrul.
Nama Ertugrul mulai dikenal setelah munculnya film berjudul Erthugrul yang bisa ditonton di Youtube. Walaupun cukup panjang karena lebih dari 500 episode yang rata-rata tiap episodenya lebih dari 30 menit, akan tetapi setiap selesai kita menonton satu episode, kita penasaran untuk melihat episode berikutnya.

Kombinasi antara kepiawaian diplomasi, ditambah adu cerdik dalam politik, dikombinasi dengan strategi dan taktik militer yang nampak menonjol dan mendominasi setiap episodenya. Yang membuat film ini menarik adalah keberanian dan ketangguhan sang tokoh sebagai seorang pemimpin melakoni perannya. Lebih dari itu kemampuannya mendeteksi dan meredam berbagai pengkhianatan yang dilakukan anggota sukunya sendiri.

Para tokoh dari suku Turki yang merasa terancam atau tersaingi, sampai pada saudara-saudaranya sendiri yang tidak siap menerima konsekwensi dan risiko dari semangat yang dimiliki Erthugrul.

Film ini juga menguras air mata, karena penderitaan yang dialami keluarga dan anggota sukunya mulai dari luka-luka akibat perang, penculikan, dan hilangnya nyawa anggota keluarga berulangkali terjadi, termasuk menimpa diri Erthugrul dan keluarganya. Film ini semakin menarik karena dibumbui kisah cinta yang tidak selalu berakhir manis sehingga mampu menguras air mata penontonnya berulangkali.

Film yang disutradarai oleh Mehmet Bozdag dan Kemal Tekden ini semula berbahasa Turki dan ditayangkan di TV TRT ini, sudah diterjemahkan dan didubbing ke dalam banyak bahasa dan ditonton oleh lebih dari 100 juta orang. Film ini semakin membuat penasaran, karena Perdana Menteri Pakistan Imran Khan ikut mengkampanyekannya agar rakyatnya menonton film ini. Sementara di sejumlah negara Arab film ini justru dilarang untuk diputar.

Yang pasti dengan menonton film ini, kita akan disadarkan bahwa kemajuan dan kebesaran sebuah bangsa menuntut kesediaan warganegaranya untuk berjuang, mau bekerja keras, kesiapan untuk berkorban, baik dalam bentuk tetesan air mata, tumpahnya darah, dan hilangnya nyawa yang terus berlanjut dari generasi ke generasi.

Tonton video trailer serial Ertugrul Ghazi di TV TRT melalui video bawah ini.

Abdul Salik Khan, Duta Besar Pakistan untuk Indonesia

Abdul Salik Khan

MTN, Jakarta – Pada 23 Januari 2020 kemarin Muslim Travel News berkunjung ke Kedubes Pakistan di Jakarta, dan berbincang dengan sang Duta Besarnya. Siapakah dia?

MTN, Jakarta – Pada 23 Januari 2020 kemarin Muslim Travel News berkunjung ke Kedubes Pakistan di Jakarta, dan berbincang dengan sang Duta Besarnya. Siapakah dia?

Duta Besar Republik Islam Pakistan untuk Indonesia terbaru adalah H.E. Mr Abdul Salik Khan, yang resmi dilantik pada 16 Juli 2018.

Sebelum menjabat sebagai Dubes Pakistan untuk Indonesia, Salik Khan menjabat sebagai Dubes Pakistan untuk Kazakhstan pada Februari 2015 hingga Juli 2018.

Lalu, sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Director General (China & SCO), Director General (Afganistan), dan Director General East Asia Pacific (EAP) di Minsitry of Foreign Affairs dari Januari 2013 hingga Januari 2015.

Salik Khan juga pernah menjabat sebagai Consul General di Pakistan, Jeddah, Arab Saudi (2010 – Desember 2012), serta Minister / Deputy Head of Mission di Beijing, China pada 2006 hingga 2010.

Beliau memegang gelar pendidikan Master untuk Literature dan Diploma di National Security. Khan juga pernah mengikuti kursus bahasa Arab di American University, Kairo.

Sepanjang karir profesionalnya di Departemen Luar Negeri, Salik Khan pernah menjabat sebagai: Director untuk wilayah China – Jepang – Korea selama periode 2005 – 2006, Director untuk wilayah Teluk pada tahun 2004 – 2005, Deputy Chief of Protocol Camp Office Quetta (1996 – 1997), Desk Officer / Acting Director untuk wilayah Asia Selatan (1995 – 1996), Desk Officer United Nations (1990 – 1991), dan Desk Officer untuk wilayah Kanada serta Amerika Latin (1988 hingga 1989).

Tugas penempatan luar negeri lainnya dari Salik Khan juga termasuk di: Oman (1991 – 1995), Jerman (1997 – 2000) dan Yaman (2000 – 2004).

Abdul Salik Khan menikah dengan Fauzia Durrani Salik dan memiliki tiga orang anak.

Mengenal Jalal Mirzayev, Dubes Azerbaijan untuk RI

Jalal Sabir Mirzayev

MTN, Jakarta – Per bulan September 2019 kemarin pihak Republik Azerbaijan menunjuk Duta Besar terbaru mereka untuk Indonesia. Siapakah dia?

Jalal Sabir Mirzayev adalah Duta Besar Republik Azerbaijan terbaru untuk Indonesia, yang mulai bekerja per September 2019.

Mirzayev lahir di kota Masally, Azerbaijan, pada 17 Oktober 1977. Mirzayev muda mulai duduk di bangku perkuliahan per tahun 1993, dengan jurusan Bachelor of Arts in International Relations di Baku State University, yang kemudian dilanjutkan mengambil Master of Arts in International Relations, juga di Baku State University.

Pada tahun 1999 hingga 2001 Jalal Mirzayev bekerja sebagai Desk officer dan Atase di Department of International Organizations Ministry of Foreign Affairs, of the Republic of Azerbaijan.

Dilanjutkan pada tahun 2001 hingga 2003 Jalal Mirzayev menjabat sebagai Third and Second Secretary, Permanent Representation of the Republic of Azerbaijan untuk PBB, New York.

Kemudian pada tahun 2003 hingga 2005 Jalal Mirzayev menjabat sebagai Second Secretary, Perwakilan Republik Azerbaijan untuk NATO, Brussels, Belgia.

Lalu pada tahun 2005 hingga 2007 Mirzayev menjabat sebagai First Secretary, Department of Security Issues, and First Territorial (West) Department, Minsitry of Foreign Affairs of the Republic of Azerbaijan.

2007 hingga 2009, Jalal Mirzayev pindah menjabat sebagai First Secretary, Embassy of the Republic of Azerbaijan untuk Malaysia.

Pada tahun 2009 hingga 2011, Jalal Mirzayev menjabat sebagai Head, I European division (Great Britain and Nordic countries), First Territorial (West) Department, Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Azerbaijan.

Kurun waktu 2011-2015, Jalal Mirzayev menjabat sebagai Counsellor, Permanent representation of the Republic of Azerbaijan to the Council of Europe, Stasburg.

Lanjut pada tahun 2015 hingga 2017, Mirzayev menduduki posisi sebagai Deputy Head, Department of Americas, Minsitry of Foreign Affairs of the Republic of Azerbaijan.

Tahun 2017 hingga 2019 Jalal Mirzayev menjabat sebagai Charge d’affaires of the Republic of Azerbaijan to the Kingdom of the Netherlands.

Akhirnya sejak akhir 2019 Mirzayev menjabat sebagai Ambassador of the Republic of Azerbaijan to the Republic of Indonesia.

Penghargaan yang pernah diraih oleh Jalal Mirzayev antara lain adalah 90th Anniversary Medal of Minsitry, of Foreign Affairs of the Republic of Azerbaijan.

Selain itu, Jalal Mirzayev juga menguasai tiga buah bahasa, yakni Inggris, Perancis dan Rusia.

Ibnu Batutah, Sang Penjelajah Legendaris Dunia Muslim

Ibnu Batutah
Ibnu Batutah

MTN, Jakarta – Di sejarah dunia jika menyebut nama tokoh-tokoh penjelajah/petualang terkemuka, pasti merujuk ke Marcopolo, Columbus atau James Cook. Jarang sekali yang menyebut nama Ibnu Batutah. Siapakah dia?

Ibnu Batutah / Ibn Battuta (1304 – 1369) adalah seorang cendikiawan muslim asal Maroko, dan penjelajah yang telah banyak bepergian keliling dunia pada abad pertengahan.

Dalam kurun waktu 30 tahun, Ibnu Batutah telah mengunjungi sebagian besar dunia Islam dan banyak negara non-Muslim, termasuk wilayah Asia Tengah, Asia Tenggara, India, dan China.

Di usia 21 tahun Ibnu Batutah telah menyambangi sekira 44 negara dengan jarak tempuh 120 ribu kilometer.

Ibnu Batutah merupakan ahli hukum dan sarjana. Batutah sempat ditunjuk sebagai hakim di Turki, India dan Maladewa. Posisi Batutah sebagai ahli hukum dan sarjana juga merupakan profesi turun-temurun di keluarganya.

Selama 30 tahun melakukan keliling dunia, Batutah banyak melakukan siar agama Islam. Di negara-negara yang penduduknya masih belum beragama Islam, dia melakukan perdagangan atau kerja sama di bidang lain dengan memasukkan unsur Islam meski tidak secara langsung.

Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 Masehi; tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo.

Ibnu Batutah Pernah Mengunjungi Aceh

Ibnu Batutah pernah mengunjungi Sumatera, tepatnya Aceh. Batutah menceritakan kunjungannya bertemu dengan Sultan Jawa (Sultan Nusantara) dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Malik Az-Zhahir.

Pada abad ke-14 Ibnu Batutah berlayar sepanjang pantai Arakan dan kemudian tiba di Aceh, tepatnya di Samudera Pasai.

Dalam kunjungannya ke Aceh, Batutah menulis Sumatra dengan nama Jawa. Karena saat itu yang terkenal di kalangan saudagar dunia adalah Menyan Jawi.

Namun, yang dimaksud Batutah adalah Sumatera. Pulau di mana Pasai berada. Dalam catatan itu, Ibnu Batutah sampai di pesisir Pasai setelah menempuh perjalanan laut selama 25 hari dari India.

Menurut Ross E. Dunn, sejarawan dari San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, itu hal yang umum digunakan pada zaman pertengahan. Misalnya, penjelajah Italia, Marco Polo menyebut Sumatra sebagai Jawa yang kecil.

“Pulau itu hijau dan subur”, Batutah menulis tanaman yang banyak tumbuh di Pasai adalah pohon kelapa, pinang, cengkeh, gaharu India, pohon nangka, mangga, jambu, jeruk manis, dan tebu.

Saat sampai di pelabuhan, masyarakat setempat menyambut Batutah dan rombongan dengan ramah. Rakyat di sana datang dengan membawa kelapa pisang, mangga, dan ikan, untuk ditukarkan dengan barang lain yang dibawa pedagang yang singgah.

Menurut Batutah, perwakilan dari panglima kesultanan juga mendatangi rombongannya. Pejabat itu menanyakan maksud kedatangan mereka. Setelah itu, rombongan Ibnu Batutah diizinkan mendarat di pantai. Menurut catatan Batutah, perkampungan itu berjarak sekitar empat mil dari kota raja.

Batutah juga mencatat bahwa Sultan Pasai, al-Malik az-Zahir, sangat ramah. Rombongan itu diterima dengan tangan terbuka. Bahkan, sang sultan meminjamkan beberapa ekor kuda untuk rombongan Batutah yang singgah itu.

Batutah juga terkesan dengan keyakinan Sultan al-Malik az-Zahir. Selain terbuka, Sultan juga pecinta teologi. Sultan merupakan penganut Islam yang taat dan memerangi segala perompakan. Sultan juga memberikan perlindungan kepada kaum non-muslim yang membayar ajak kepada kesultanan. Selain tegas, Sultan al-Malik juga digambarkan sebagai orang yang rendah hati.

Batutah berada di Pasai selama 15 hari. Tibalah saatnya mereka berpamitan. Rombongan ini tak bisa meneruskan perjalanan ke China karena kondisi cuaca yang buruk. Batutah dan rombongan pun berpamitan kepada Sultan.

Setelah kunjungannya di Aceh, ia meneruskan perjalanan ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja. Setibanya di Cina, Ibnu Batutah terus berpetualang ke Peking. Lalu ia menuju Calicut dan meneruskan perjalanannya ke Iran, Irak, Suriah, Mesir, kemudian menunaikan haji di Mekah. Setelah ibadah hajinya yang terakhir, Ibnu Batutah kembali ke kampung halamannya.

Menulis Jurnal Perjalanan Ibnu Battuta

Seluruh catatan perjalanan dan pengalaman Ibnu Battuta selama pengembaraan ditulis ulang oleh Ibnu Jauzi seorang penyair dan penulis buku kesultanan Maroko.

Sultan Maroko saat itu bernama Sultan Abu Inan Faris, dan ia memerintahkan juru tulis Ibnu Jauzi untuk menulis kisah Ibnu Battuta. Battuta pertama kali berkenalan dengan juru tulis Ibnu Jauzi di Granada.

Ibnu Batutah diminta menceritakan apa saja yang dilakukan selama penjelajahannya, untuk dibuatkan laporan penjelajahan yang lengkap.

Ibnu Jauzi menuliskannya berdasarkan paparan lisan yang didiktekan langsung oleh Ibnu Battuta. Buku ini disusun selama dua tahun dan diberi judul “Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar” atau lebih dikenal dengan “Rihla Ibnu Battuta”.

Banyak kisah menarik yang diceritakan dalam buku catatan perjalanan Ibnu Bathuthah ini, terutama cerita-cerita tentang para sultan, para syaikh, sejarah sebuah negeri, falsafah kehidupan masyarakat setempat dan lain-lain.

Dunia Barat Telat Mengenal Kisah Ibnu Batutah

Kisah petualangan Ibnu Batutah sebelumnya hanya diketahui di lingkaran dunia muslim saja. Baru abad ke-19 kisah Batutah diketahui oleh dunia Barat, ketika seorang penjelajah Jerman yang bernama Ulrich Jasper Seetzen (1767-1811) mendapat kumpulan manuskrip di Timur Tengah, yang di dalamnya termasuk tulisan setebal 94 halaman karya Ibnu Jauzi yang mengisahkan tentang Ibnu Batutah.

Kemudian tiga kopi manuskrip lainnya juga didapatkan oleh penjelajah Swiss, Johann Burckhardt.

Pada kisaran dekade 1830-an, saat okupasi Perancis terhadap Aljazair, pihak Bibliothèque Nationale (BNF) di Paris mendapat lima manuskrip jurnal perjalanan Ibnu Batuta , yang dua di antaranya dalam kondisi lengkap, bertanggal 1356 dan memiliki tanda tangan (yang dipercaya) dari Ibnu Jauzi, sang penulis.

Pada tahun 1369, di usia 65 tahun, Ibnu Batutah meninggal dunia, setelah 12 tahun menyelesaikan memoir jurnalnya, Rihlah.