Pelurusan Persepsi yang Salah dari Wacana Wisata Halal di Bali

ilustrasi (foto: percutiankebali.com)

MTN, Jakarta – Pihak SAHI (Silahturahmi Umrah dan Haji Indonesia) menyatakan kalau Bali perlu tempat wisata yang ramah muslim.

Dilansir dari NusantaraTV, Ketua DPP Silaturahmi Umrah dan Haji Indonesia (SAHI), Siti Ma’rifah, ketika mengunjungi DPW SAHI Bali, pada Selasa (25/8/2020) mengatakan kalau Bali perlu tempat wisata yang ramah muslim.

Putri Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin tersebut sempat menyinggung kalau ada persepsi yang salah dari wacana tempat wisata ramah muslim di Bali.

“Desa wisata halal di Bali jangan disalahartikan, hanya khusus orang Muslim, dan non-Muslim dilarang masuk atau harus memakai pakaian Muslim, bukan. Tetapi bagaimana Bali yang dianggap (nyaman) untuk turis non Muslim, juga bisa aman dan nyaman untuk turis beragama Islam, walaupun Islam di Bali minoritas,” ujar Siti.

Menurut Siti, halal selayaknya gaya hidup. Sehingga, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari penerapannya.

“Jadi tidak perlu dikhawatirkan, jangan dianggap Islamisasi, jangan,” tutur Siti.

Siti pun mencontohkan Taiwan yang telah menyediakan hotel khusus Muslim. Ia menjelaskan, apabila suatu wilayah telah menegaskan posisinya sebagai kota atau daerah wisata, wilayah itu harus bisa menerima seluruh segmentasi masyarakat dari berbagai penjuru.

Siti menilai penting bagi Bali agar memiliki desa wisata halal. Sehingga turis dari Timur Tengah atau dari belahan dunia yang beragama Islam, semakin nyaman berwisata ke Bali, terlebih dalam urusan ibadah dan wisata kuliner.

“Saya lebih menyebutnya Moslem friendly, jadi Bali perlu memiliki tempat yang Moslem friendly,” kata dia.

PariWisata Ramah Muslim, Ceruk Pasar Yang Potensial

ilustrasi (foto: crescentrating.com)

MTN, Jakarta – Wisata ramah muslim adalah pasar yang potensial dan masih belum tergarap dengan baik. Beberapa pakar di dunia pariwisata pun mengamini hal tersebut.

Dilansir dari EcoMasjid, sebuah webinar bertajuk “Pengembangan Pariwisata Ramah Muslim Pasca-Covid-19” yang dilakukan oleh Lembaga PLH & SDA Majelis Ulama Indonesia dengan pembicara dari kemenparekraf RI, ITC Malaysia dan Pakar Pariwisata, menyatakan kalau mereka sepakat Pariwisata Ramah Muslim merupakan ceruk pasar yang potential dan perlu mendapat perhatian lebih.

Hal ini dikarenakan wisata muslim mampu menunjukkan keaslian dan keunikan suatu daerah. Indonesia sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia yang memiliki 17 ribu pulau dengan keanekaragaman budaya serta hayati, yang perlu digali dan merealisasikan ceruk pasar potensial ini.

Selain itu, diskusi webinar ini juga menyatukan pandangan bahwa istilah Pariwisata Ramah Muslim (Muslim Friendly Tourism) merupakan istilah yang lebih tepat dibandingkan dengan istilah Wisata Halal, Wisata Muslim ataupun Wisata Syariah.

Inti Wisata Ramah Muslim merupakan sebuah layanan tambahan (extended services) yang diperlukan oleh seorang wisatawan muslim dalam melakukan perjalanan.

Umat Islam Indonesia sangat membutuhkan layanan Wisata Ramah Muslim ini agar umat muslim tidak mengorbankan keimanannya saat berpergian untuk suatu tujuan wisata yang syar’i. Kita ketahui bersama bahwa penyedia fasilitas pariwisata tidak semuanya muslim, oleh karenanya perlu kiranya agar seluruh pihak dalam industri wisata mengerti dan memiliki standar pemenuhan kebutuhan wisatawan muslim; yang tidak terbatas pada penyediaan makanan halal saja, tapi juga untuk layanan amenitas serta atraksi (daya tarik) yang sesuai dengan ajaran Islam.

Dato’ Dr. Mohmed Razip Haji Hasan sebagai Ketua Pengarah Islamic Tourism Centre (ITC) di Malaysia menjelaskan kalau ITC didirikan pada tahun 2009 untuk membantu Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya Malaysia dalam melakukan penelitian strategis dan intelijen pasar pariwisata serta memberikan pelatihan dan layanan pengembangan kapasitas terkait dengan pariwisata Islam.

ITC juga berfungsi sebagai badan penasihat terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata Islam untuk Kementerian. Selama bertahun-tahun, ITC semakin menjadi acuan para pemangku kepentingan dan pelaku industri, dan dipandang sebagai pakar industri untuk pariwisata Islam.

Ir. Rizki Handayani, MBTM, Deputi Bidang Produk Wisata & Penyelenggara Kegiatan, Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif RI menyampaikan bahwa Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreaftif (Kemenparekraf) saat ini memiliki strategi untuk melakukan Periwisata Erkualitas (Quality Tourism). Pariwisata berkualitas dalam arti meningkatkan kualitas wisatawan yang datang ke Indonesia sehingga spending ke Indonesia jauh lebih besar. Juga meningkatkan kualitas dari destinasinya. Dengan pendekatan kualitas ini dilakukan dengan segmented market tertentu, termasuk wisata ramah muslim

Pada 2013 kita bicara Wisata Syariah, kemudian berubah menjadi Wisata Halal dan sekarang kita berpandangan lebih baik jika disebut sebagai Wisata Ramah Muslim. Konsep Wisata Ramah Muslim adalah merupakan extended services (layanan tambahan dari wisata konvensional). WRM merupakan ceruk pada wisatawan muslim dengan menyediakan layanan tambahan yang diperlukan wisatawan muslim yang tidak terdapat pada wisata konvensional. Banyak perdebatan persepsi mengenai istilah bahwa istilah Wisata Halal itu membuat akomodasi Islam, kemudian Wisata Muslim atau Wisata Syariah itu syariat-syariat Islam harus diberlakukan di semua tempat. Namun sebetulnya ini adalah ceruk pasar baru atau market segmen baru yang perlu kita ambil dengan memberikan kualitas layanan atau services yang dibutuhkan oleh wisatawan muslim. Hal paling penting adalah bagaimana kita memberikan pelayanan kepada wisatawan muslim yang datang supaya dia merasa nyaman.

Prof. Azril Azahari, PhD, Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia berpendapat bahwa Pariwisata Ramah Muslim dapat dilakukan melalui makanan yang merupakan bagian dari budaya. Karena tiap daerah mempunyai keunikan dan keaslian masing-masing. Wisata kuliner ini berkembang menjadi gastronomi adalah bagaimana memasak, tapi juga kombinasi seni dan sains dalam memasak yang bisa berkembang menjadi food diplomacy. Indonesia dijajah Portugis karena rempah-rempahnya. Jadi atraksi (daya tarik) pariwisata dapat berupa makanan yang unik dan asli setempat, termasuk makanan halal yang mencerminkan makanan yang sehat dan higienis (healthy & hygene).

Selain itu, sebuah pariwisata, khususnya Pariwisata Ramah Muslim, haruslah Profit (untung) agar usahanya berkesinambungan. Tapi aspek People (manusia) janganlah dilupakan. Maka investasi jangan hanya untuk kepentingan investor saja tapi juga untuk komunitas yang menjadi (Community Based Tourism); suatu skema usaha untuk mengembangkan pendapatan masyarakat melalui pengembangan industri pariwisata dengan mengembangkan partisipasi masyarakat lokal.