Sejarah Objek Wisata Halal, Pemandian Alam Banyubiru

Pemandian Banyu Biru (foto: travelingyuk.com)

MTN, Jakarta – Objek wisata terkenal di Sumber Rejo, Winongan, Pasuruan, yakni Banyubiru, akan segera dijadikan tempat wisata halal. Seperti apa sejarahnya?

Dilansir dari Radarbromo, Pemkab Pasuruan berencana untuk menyulap pemandian Banyubiru dengan konsep wisata halal. Salah satunya, akan ada pemisahan yang jelas antara pengunjung laki-laki dan perempuan. Selain itu, ada penambahan fasilitas outbound dan perbaikan lapangan tenis.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Pasuruan Eka Wara Brehaspati mengatakan, belum bisa memastikan bagaimana konsep wisata halal di Banyubiru itu. Ada konsultan yang tengah mengerjakannya. Saat ini, desainnya tengah disiapkan.

“Kami belum bisa berbicara itu. Konsultan sedang menyiapkan konsepnya. Nanti setelah selesai baru akan ditunjukkan dan didiskusikan di internal pemkab,” katanya.

Disparbud, lanjut Eka Wara, menunggu hasil kerja konsultan untuk penataan Banyubiru. Yang pasti, konsepnya tetap memegang teguh kearifan lokal, nilai-nilai daerah santri, dan sebagainya. “Penyekatan tempat mandi perempuan dan laki laki itu nanti ada. Tapi, itu bukan berarti melarang,” tandasnya.

Disparbud juga belum menyediakan anggaran atau mengajukan dana bantuan ke pemerintah pusat. Sebab, kebutuhan anggaran bergantung pada konsep yang disusun konsultan. ”Kebutuhan itu akan dihitung, misalnya berapa untuk pembangunan fisik,” jelasnya.

Sekilas, tambah Eka Wara, konsep wisata halal juga mengusung tiga tema besar. Yakni, maslahat, sejahtera, dan berdaya saing. Yang pasti, wisata Banyubiru dengan konsep yang baru itu ditata lebih baik. Tidak melanggar syariat agama dan melanggar tradisi lokal. Kapan Banyubiru dibuka lagi? “Bisa tahun ini, bisa tahun depan,” katanya.

Sejak dulu, kolam air di Desa Banyubiru, Kecamatan Winongan, itu sangat populer bagi warga Kabupaten Pasuruan. Keindahannya terkenal. Kejernihan airnya juga luar biasa. Dengan ikan-ikan tombro di dalamnya.

Saat ini, Banyubiru dikenal sebagai pemandian alam untuk umum. Tempat wisata itu dikelola sebagai penghasil pendapatan asli daerah (PAD).

Sejarah Pemandian Banyubiru

Pemandian Banyubiru lekat dengan sejarah Pasuruan, terutama keterkaitan dengan zaman kerajaan. Subandi, juru kunci Banyubiru, bercerita sejarah Banyubiru dimulai sejak Kerajaan Majapahit runtuh pada pada abad ke-XV. Banyak sisa-sisa petinggi kerajaan yang mencari tempat untuk menghindari terjadinya perang.

”Ada dua prajurit yang ditugasi mencari tempat di selatan Pasuruan. Akhirnya nemu di Tengger,” kata pria yang berumur 61 tahun itu.

Kemudian rombongan bergerak dengan berjalan kaki. Ada beberapa tempat istirahat yang disinggahi. “Pertama di Wendit, Malang. Selanjutnya Singosari, dan terakhir Banyubiru,” katanya.

Banyubiru waktu itu adalah hutan belantara. Pemandian adalah sungai yang lusuh. Rombongan berhenti di lokasi ini sangat lama dibandingkan dengan dua tempat peristirahatan sebelumnya.

Sungai itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pemandian raja dan pemandian prajurit. Sedangkan pemandian putri berjarak 500 meter dari lokasi sebelumnya.

Pada masa Belanda, Bupati Pasuruan yang bernama Raden Adipati Nitiningrat mengetahui adanya sumber yang bersih itu. Dalam perjalanan ke lokasi, bupati bertemu dengan pembesar Belanda, PW Hoplan. Bersamalah mereka ke sana. Belanda takjub dengan jernihnya air pemandian Banyubiru. Kemudian dibuatlah pemandian di lokasi. “Dibangun pemandian umum. Sampai dibuat lomba polo air, renang, dan sebagainya,” jelasnya.

Tetapi, setelah kedatangan Jepang, semuanya dirusak. Bahkan, kera-kera yang ada di lokasi ditembaki. Beberapa arca di lokasi juga dirusak. Kini hanya tinggal beberapa. Di antaranya, dua volkaring dari Pemda Kabupaten Pasuruan dengan bahasa Belanda bertahun 1921. Lalu, satu prasasti bahasa dan huruf Jawa tahun 1847. Kemudian, sebuah Patung Betara Siwa dengan membawa senjata trisula. Ada lagi satu patung Ganesha dan satu patung dua ekor naga berbelit.

Masjid Unik di Kota Blitar ini Mirip Masjid Nabawi

MTN, Jakarta – Sebuah masjid unik di kota Bllitar bentuknya mirip Masjid Nabawi, di Madinah, Arab Saudi. Seperti apa?

Dilansir dari Detik, masjid unik tersebut bernama Ar Rahman dan berlokasi di kota Blitar, Jawa-Timur.

Masjid Ar Rahman dibangun di atas lahan seluas hampir 5.000 meter persegi, masjid ini merupakan obsesi Abah Hariyanto seorang pengusaha ternama di kota Blitar. Dari pengalaman spiritual yang sangat mendalam ketika naik haji pertama kali di Masjid Nabawi, membuat Abah Hariyanto ingin setiap saat bisa merasakan berada di suasana khusyuk ketika beribadah.

Ketua Takmir Masjid Ar Rahman, H. Moch Fuad Saiful Anam, menceritakan, keinginan Abah membangun miniatur Masjid Nabawi di Blitar ada sejak tahun 2018. Peletakan batu pertama pembangunan masjid di Jalan Ciliwung ini pada 24 Desember 2018, dan selesai pada 25 Desember 2019.

Masjid unik ini dirancang oleh seorang arsitek asal kota Malang. Sebanyak 10 tiang penyangga payung berdiri berjajar dengan megah. Bentuk payung ini sama seperti yang tampak di bagian luar Masjid Nabawi. Ornamen tembaga dengan warna emas melilit di bagian atas tiang juga dihiasi lampu indah dengan bentuk serupa di Madinah.

Ciri khas kontemporer klasik Utsmaniyah Mamluk langsung bisa dilihat dari bentuk pilar melengkung dengan motif hitam putih. Desain pilar seperti ini ada di semua bagian masjid Ar Rahman, Blitar.

Sebanyak 11 buah pintu masuk setinggi tiga meter dengan lebar dua meter terlihat megah menyambut datangnya para jemaah. Pintu kayu jati ini dilapisi tembaga berukir dengan motif kaligrafi yang indah.

“Semua bahannya lokal. Kayu, granit, keramik dan porselen serta batu andesit yang menempel di bagian dalam masjid kami datangkan dari Tulungagung,” jelas H. Moch Fuad Saiful Anam.

Sedangkan semua interior berbahan tembaga bercat emas, lanjutnya, dikerjakan seorang perajin tembaga dari Boyolali, Jawa Tengah. Semua motif dan kaligrafi yang tercetak di tembaga itu dibuat sama persis dengan interior di Masjid Nabawi.

“Untuk Mihrab atau tempat untuk imam, didesain seperti kita berhadapan langsung dengan Ka’bah. Desain dinding Ka’bah seperti itu, kaligrafi di sekitar Ka’bah juga seperti itu. Dan kiswah yang pasang di bagian pintu masuk Ka’bah itu, kiswah asli yang pernah dipakai menutup Ka’bah tahun 2016,” ungkap H. Moch Fuad Saiful Anam.

Kiswah ini dari kain sutra. Disulam menggunakan benang emas. Ketika detikcom meraba bagian sulam, ternyata tidak lembut seperti benang. Namun tektur kasar, seperti kawat yang dilapisi emas.

Abah Hariyanto selaku pendiri Masjid Ar Rahman juga mendatangkan karpet sajadah untuk sembahyang, langsung dari Turki. Namun karena saat ini pandemi Corona, karpet yang biasanya terpasang untuk sementara digulung. Agar para jamaah membawa sendiri sajadahnya masing-masing dari rumah.

“Bahkan untuk pengharum ruangan, juga diimpor langsung dari Madinah. Jadi saat di Masjid Nabawi, ketika marbotnya menyemprotkan parfum ruangan itu kami dekati. Kami tanya mereknya apa, belinya dimana. Jadi sekarang kami punya link untuk mengimpor langsung pengharum ruangan ini dari Madinah,” ujar Fuad.

Masjid dengan kapasitas sekitar 1.000 jemaah ini didatangi jemaah setiap hari, meski saat ini sedang pandemi Corona.

Masjid Ar Rahman Mayangkara Group berlokasi di jalan Ciliwung No.2, Bendo, kecamatan Kepanjenkidul, kota Blitar, Jawa Timur, 66116.

Tonton video liputan Masjid Ar Rahman, Blitar, melalui saluran YouTube Madu TV di bawah ini.