Melihat Potensi Wisata Halal di Jepang

ilustrasi (foto: berbudiwisata.com)

MTN, Jakarta – Jepang merupakan salah satu destinasi favorit para wisatawan Indonesia. Tapi apakah wisata Jepang ramah muslim? Potensinya besar.

Dilansir dari Kumparan, walaupun masyarakat Jepang sendiri didominasi dengan keyakinan Shinto (Sugiyama, 2014), namun Jepang berusaha untuk menyukseskan pariwisata halal mereka. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa penghargaan yang diterima Jepang pada tahun di World Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi.

Pada tahun 2017, Jepang mempunyai 788 tempat makan yang memiliki menu halal. Sebagian besar dari tempat makan tersebut memakai bahan baku yang halal dan cara memasak yang sudah memisahkan halal dan non halal. Sebagian besar tempat makan yang menjual makanan halal sudah ada di kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, Kyoto, Hokkaido, dan lainnya.

Selain tempat makan, tempat ibadah merupkan hal yang penting bagi wisatawan muslim. Terdapat sekitar 241 tempat ibadah yang ada di Jepang. Tempat ibadah tersebut berada di kota-kota besar, bandara, stasiun, café, mall dan destinasi wisata yang lain. Dengan adanya hal tersebut, maka Jepang menjadi negara yang ramah akan turis asing khususnya bagi muslim.

Jepang merupakan suatu negara yang sering dikunjungi oleh masyarakat dunia khususnya warga Indonesia. Menurut Skycanner Indonesia, Tokyo dan Osaka menjadi dua kota yang dimana termasuk ke dalam 10 tempat wisata favorit yang sering dicari di website mereka.

Jepang sendiri mempunyai suatu konsep, yang mana dalam konsep tersebut merupakan ciri khas Jepang, yakni interaksi antara pengunjung dan staff. Metode tersebut merupakan bentuk layanan yang dimana komunikasi menjadi hal yang penting bagi staff dan pengunjung. Hal tersebut dalam kata Jepang disebut dengan Omotenashi (Ota et al, 2016). Omotenashi sendiri mengarah pada tradisi dan budaya Jepang. Namun, seringkali Omotenashi disamakan dengan hospitality.

Memahami Wisata Ramah Muslim Secara Utuh

ilustrasi (gambar: slamic-center.or.id)

MTN, Jakarta – Masih banyak mispersepsi dan salah kaprah mengenai wisata ramah muslim di masyarakat. Seorang Profesor di Malaysia coba memberikan opininya secara mendalam tentang wisata ramah muslim.

Profesor Irwandi Jaswir dari International Institute for Halal Research and Training (INHART), International Islamic University Malaysia, menuliskan opininya secara lengkap mengenai wisata ramah muslim di The Jakarta Post.

“Menurut Laporan Indikator Ekonomi Islam Global 2020, pengeluaran Muslim untuk perjalanan meningkat 2,7 persen pada 2019 dari US$189 miliar menjadi US$194 miliar. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar menempati peringkat tiga negara teratas berdasarkan pembelanjaan. Namun, karena dampak buruk dari krisis COVID-19, pengeluaran konsumen Muslim untuk perjalanan diperkirakan turun 70 persen menjadi US$58 miliar pada tahun 2020,” tulis Irwandi.

Profesor itu menambahkan, kalau Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) memperkirakan bahwa industri kehilangan total US$320 miliar hanya dalam lima bulan – antara Januari dan Mei 2020. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) telah memperkirakan kerugian US$2,2 triliun untuk industri tersebut pada tahun 2020.

Sementara seluruh dunia mengharapkan vaksin COVID-19 sebagai solusi yang ampuh, banyak negara telah memulai persiapan strategis agar industri pariwisata mereka pulih, termasuk pariwisata ramah Muslim.

Dipaparkan oleh Irwandi Jaswir, secara umum, wisata ramah muslim tidak berbeda dengan wisata halal, wisata islami atau wisata syariah. Namun, di beberapa negara, pelaku pariwisata lebih memilih istilah “ramah Muslim” daripada yang lain. Pariwisata ramah muslim diartikan sebagai jenis pariwisata yang menganut nilai-nilai Islam. Dalam keramahan ramah Muslim, disarankan agar semua pengembangan produk dan upaya pemasaran dirancang untuk dan diarahkan pada Muslim.

Layanan perhotelan ramah Muslim seperti maskapai penerbangan, hotel, dan layanan makanan adalah produk pariwisata baru yang berkembang pesat dalam industri pariwisata ramah Muslim.

Jika Indonesia juga berminat mengembangkan pariwisata ramah muslim, salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi adalah mengembangkan kerangka kerja nasional. Pasalnya, pada kenyataannya sudah banyak keluhan konsumen terkait layanan perhotelan. Ini termasuk iklan yang menyesatkan, paket liburan penipuan, persyaratan kontrak yang tidak adil, informasi yang tidak diungkapkan, layanan berkualitas rendah dan tidak efisien, dll.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memeriksa masalah ini dari perspektif konsumen untuk memastikan bahwa layanan perhotelan yang ramah Muslim adalah layanan yang ramah konsumen dan bebas dari masalah tersebut. Dalam melakukan hal tersebut, konsumen perlu dipastikan dilindungi secara memadai oleh peraturan hukum dan administratif.

“Pada 2012, saya dan tim mempelajari kerangka kerja pariwisata ramah Muslim di Malaysia. Untuk memastikan keberlanjutan pariwisata ramah Muslim, beberapa masalah perlu ditangani: Perlunya kerangka hukum dan administrasi terkait layanan perhotelan ramah Muslim secara umum. Kemanjuran manajemen dan administrasi hukum yang terkait dengan layanan perhotelan. Perlindungan hukum terkait dengan keterlibatan industri pariwisata dalam pariwisata ramah Muslim dan perhotelan untuk memastikan keberlanjutannya dan kemampuan untuk bersaing dengan perusahaan multinasional,” ungkap Profesor Jaswir.

“Kami percaya bahwa pariwisata terus memainkan peran kunci dalam perekonomian Indonesia untuk mendorong negara tersebut menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Di Asia Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-10 sebagai negara yang paling banyak dikunjungi di Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO). ) Tourism Highlights Edisi 2019 dengan 15,5 juta kunjungan turis internasional pada 2019. Wisatawan Muslim mencapai sekitar 20 persen dari total turis yang masuk ke Indonesia setiap tahun. Pada 2018, negara ini menarik sekitar 3 juta wisatawan Muslim, menyumbang US$3,9 miliar bagi perekonomian,” tambah Irwandi.

Layanan perhotelan dan pariwisata ramah Muslim adalah segmen hasil tinggi yang memiliki potensi untuk berkembang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan Indonesia.

Ketersediaan makanan halal, keberadaan masjid dan musholla di tempat umum, kawasan belanja bebas pajak dan suasana ramah muslim belum cukup untuk menopang tumbuh kembangnya pelayanan perhotelan ramah muslim di Indonesia. Dalam jangka panjang, ini harus menjadi industri yang diatur dengan ketat yang mampu menetapkan standar global.

Meskipun hampir tidak mungkin untuk memiliki sistem yang sangat mudah dibuktikan, seperangkat undang-undang, peraturan dan mekanisme administratif perlu dikembangkan untuk memastikan pertumbuhan dan keberlanjutannya. Misalnya, definisi dan terminologi yang tepat yang melingkupi industri sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalahpahaman di kalangan konsumen.

Untuk lebih mendukung industri dan untuk menghindari penipuan konsumen, fasilitas dan layanan yang umumnya terkait dengan industri, seperti zona khusus untuk hiburan dan kebugaran, harus didaftarkan dan diatur dengan benar.

“Ini harus menjadi persyaratan bahwa program pelatihan khusus dirancang untuk pemandu wisata e-Muslim. Demikian pula, setiap spa kesehatan dan kebugaran yang mengklaim ramah Muslim harus terdaftar secara hukum dan disertifikasi oleh otoritas terkait,” pungkas Irwandi Jaswir.

Keramahan Taiwan yang Membuat Wisatawan Muslim Ingin Kembali Lagi

Halal Beef Noodle (foto: Taiwan Tourism)

MTN, Jakarta – Beberapa tahun terakhir para wisatawan muslim merasa betah ketika berkunjung ke Taiwan dan selalu ingin kembali. Mengapa bisa begitu?

Dilansir dari Kompas, ada satu hal yang tidak dapat dilupakan oleh wisatawan muslim yang pernah berkunjung ke Taiwan, yaitu keramahan penduduk, tempat, atraksi dan kuliner wisata yang ditawarkan.

Banyaknya wisatawan muslim yang berkunjung membuat Taiwan berbenah. Taiwan mempersiapkan kebutuhan umat muslim seperti tempat beribadah berupa masjid dan mushola di setiap destinasi wisata serta restoran bersertifikasi halal.

Berwisata di Taiwan, para wisatawan muslim kini dapat menemukan ratusan restoran bersertifikasi halal. Cita rasa yang ditawarkan oleh restoran-restoran tersebut sangat beragam, mulai dari chinese food, hidangan Indonesia, Thailand, Turki, hingga western food. Untuk menemukannya, wisatawan dapat memanfaatkan aplikasi Halal Taiwan.

Sebagai rekomendasi, wisatawan dapat mengunjungi Halal Chinese Beef Noodle di No. 1, Alley 7, Lane 137, Yanji Street yang direkomendasikan oleh Bib Gourmand atau Really Good Seafood di No. 222, Section 1, Fuxing South Road, yang direkomendasikan oleh Michelin Plate.

Sebagai alternatif, wisatawan muslim juga dapat bersantap di restoran vegetarian. Taiwan memiliki banyak restoran vegetarian yang tidak menghidangkan daging dan alkohol.

Seperti Apa Potensi Wisata Halal di Sulawesi Selatan?

ilustrasi (foto: Cheria Travel)

MTN, Jakarta – Sulawesi Selatan tentu memiliki objek-objek wisata halal. Tapi seperti apa potensinya?

Dilansir dari SeputarJakarta, Wakil Rektor Universitas YARSI, Prof.Dr.Nurul Huda, SE, MM.,MSi., di sebuah acara diskusi daring memberikan analisanya mengenai potensi wisata untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka sharing knowledge yang dilaksanakan oleh Universitas YARSI dengan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulawesi Selatan, kampus yang berlokasi di Indonesia timur, serta para stakeholder (pengambil kebijakan, pelaku industri pariwisata, akademisi, dan lainnya) pada Selasa (1/12/2020) coba membahas potensi wisata halal di Sulawesi Selatan.

Sharing knowledge ini bersumber dari penelitian mengenai pariwisata halal yang sudah dilakukan oleh Prof.Dr.Nurul Huda, SE,MM.,MSi selaku Ketua Prodi Magister Manajemen, Guru Besar FEB dan Wakil Rektor IV Universitas YARSI.

Acara dibuka oleh pemaparan hasil riset Prof.Dr.Nurul Huda, SE, MM.,MSi. pada tahun 2019. Beliau menyampaikan bahwa riset ini menggunakan pendekatan Analytic Network Process (ANP), yaitu interaksi dan wawancara langsung pada pihak-pihak yang terkait dengan pariwisata dilanjutkan dengan pengisian kuesioner skala 9 yang merupakan tahapan penelitian ANP.

“Gambaran posisi Indonesia dalam Global Islamic Economic Indicator sudah masuk dalam ranking 4 pada tahun 2020 yang sebelumnya di posisi ranking 5 pada tahun 2019. Pada hari ini disampaikan pengembangan model dynamic process untuk mengembangkan pariwisata halal pada daerah tertentu dengan harapan ada hasil yang dapat diperoleh dari metodologi tersebut yang dipandu oleh Ariel Nian Gani, M.Phil., M.Sc.(fasilitator) dan Nova Rini, SE., M.Si (pembawa acara) dalam acara ini,” katanya.

Sementara itu, Dra. Hj. Djamila Hamid selaku Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulawesi Selatan dalam sambutannya menyampaikan kondisi pariwisata halal Sulawesi Selatan. Menurutnya, Sulsel termasuk dalam salah satu dari 10 provinsi destinasi wisata halal di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim sebesar 7,2 juta jiwa dari jumlah total penduduk 8 juta jiwa.

Djamila menuturkan bahwa, Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Sulawesi Selatan dipercaya oleh pemerintah untuk melakukan sosialisasi pariwisata halal yang merupakan program prioritas Provinsi Sulawesi Selatan pada seluruh lapisan masyarakat.

“Pada dua tahun terakhir, sosialisasi sudah dilakukan pada tingkat provinsi, dilanjutkan pada Kabupaten Bone pada awal Desember 2020,” ucapnya.

Beliau menambahkan, di Sulsel terdapat kesalahpahaman tentang pariwisata halal khususnya di daerah Toraja dikarenakan mereka khawatir untuk merubah kebiasaan tradisi yang ada, padahal intinya wisata halal melayani seluruh wisatawan Muslim dan Non-muslim.

“Dengan adanya FGD ini mudah-mudahan dapat memperluas pengenalan dan saran mengenai wisata halal Sulsel pada masyarakat kedepannya,” sambungnya.

Setelah pemaparan, dilanjutkan dengan pengumpulan ide prioritas dari para penanggap forum mengenai hal yang dapat mengembangkan pariwisata halal di Sulsel yang kemudian diterapkan pada model dynamic pengembangan riset ini.

Salah satu penanggap, Supriadi, S.E.I., M.E.I. (Dosen UIN Alauddin Makassar) menuturkan bahwa pariwisata halal di Sulsel harus didukung oleh sumber daya manusia yang mumpuni, seperti kerja sama dengan masyarakat sekitar untuk menjadi volunteer penyebaran informasi tentang wisata halal.

“Bukan tidak mungkin pembukaan program studi pariwisata syariah di kampus sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, namun butuh waktu kurang lebih empat tahun untuk mencetak tenaga berkualitas seperti itu,” ucapnya.

Penanggap lainnya, Trimulato,SEI.,M.Si (pengguna hotel syariah) menyampaikan, kebijakan pemerintah pusat harus mengakomodasi pengetahuan mengenai sosialisasi pada masyarakat, bahwa dengan adanya pariwisata halal tidak bermaksud “menyusahkan” atau menggantikan budaya/kearifan lokal.

Destinasi Wisata Halal di Banda Aceh Masih Perlu Publikasi Luas

destinasi wisata halal di Aceh (foto: madaninews.id)

MTN, Jakarta – Banda Aceh memiliki banyak destinasi wisata halal, namun masih memerlukan publikasi secara luas, agar bisa lebih banyak lagi masyarakat yang mengenalnya.

Dilansir dari MediaAndalas, Wakil Wali Kota Banda Aceh, Zainal Arifin, saat membuka acara Focus Group Discusion (FGD) Pusat Studi Pemuda Aceh (Pusda) dengan tema “Peran Pemuda Membangun Kota Gemilang Melalui Pariwisata Berbasis Syariah” acara berlangsung di Bin Hamid Cafe kawasan Lampineng, Banda Aceh, Kamis, 31 Desember 2020, mengatakan kalau Banda Aceh memiliki banyak destinasi wisata halal yang masih memerlukan publikasi secara luas.

“Saat ini dapat kita lihat kota yang menerapkan hukum syariat Islam makin ramai dikunjungi. Salah satunya, yaitu Kota Banda Aceh,” ungkap Zainal Arifin yang sering disapa Chek Zainal.

“Bagi masyarakat luar, atau pengunjung luar negeri, semua yang mereka lihat dan rasakan di Kota Banda Aceh akan menjadi pengalaman unik yang tidak pernah mereka saksikan dan temukan di manapun”, kata Wakil Wali Kota Banda Aceh tersebut.

Banda Aceh juga sebagai kota yang peradaban Islamnya paling tua di Asia Tenggara, Kota Banda Aceh memiliki tradisi dan kebudayaan, dengan entitas peradaban nan megah dalam lembaran sejarahnya. “Sebab itu, Banda Aceh harus mampu menjadi daerah terdepan di Indonesia dalam menjadikan Kota Banda Aceh sebagai destinasi wisata halal, bahkan Banda Aceh harus menjadi pusat wisata halal di dunia,” jelas Zainal.

Chek Zainal berharap, para pemuda di Kota Banda Aceh dapat ikut terlibat dalam mendukung dan mewujudkan cita-cita ini. Ada banyak sekali bentuk keterlibatan pemuda Kota Banda Aceh dalam membuat berbagai destinasi wisata halal di kota ini menjadi terkenal.

“Cara yang paling sederhana adalah memviralkan setiap keunikan dan kekhasan yang terdapat di Kota Banda Aceh. Gunakan media sosial, baik melalui Instagram, Youtube, maupun Facebook, terutama sekali para pemuda yang memiliki banyak pengikut untuk tidak henti-hentinya memperkenalkan keindahan dan kekhasan Kota Banda Aceh ke dunia luar,” pungkas Chek Zainal.

Industri Pariwisata Indonesia Akan Bangkit pada Tahun 2021

ilustrasi (foto: Phinemo)

MTN, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan kalau dunia pariwisata Indonesia akan bangkit pada tahun 2021.

Dilansir dari Detik, Jokowi meyakini bakal ada lonjakan di sektor pariwisata pada tahun 2021. Ia juga optimistis wabah virus Corona (COVID-19) di Indonesia bisa selesai pada akhir 2020.

“Saya meyakini ini (pandemi Corona di Indonesia) hanya sampai akhir tahun. Tahun depan booming di pariwisata,” ujar Jokowi dalam pengantar rapat terbatas mitigasi dampak COVID-19 terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, Kamis (16/4).

Menurut Jokowi, setelah wabah COVID-19 hilang, dipastikan akan ada hasrat besar dari masyarakat untuk berlibur. Apalagi setelah semua orang berdiam diri di rumah dalam jangka waktu yang lama.

“Semua orang ingin menikmati kembali keindahan daerah yang ada pariwisatanya, sehingga optimisme itu yang harus diangkat,” ujar Jokowi.

Saat ini dampak COVID-19 sangat dirasakan oleh sektor pariwisata. Jokowi meminta adanya program mitigasi perlindungan sosial bagi pekerja di sektor pariwisata, serta realokasi anggaran di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), untuk para pekerja di bidang pariwisata.

“Kemudian juga harus ada realokasi anggaran dari Kementerian Pariwisata (dan Ekonomi Kreatif), yang diarahkan dalam wujud semacam program padat karya tunai bagi pekerja-pekerja bergerak di bidang pariwisata,” kata Jokowi.