Memahami Wisata Ramah Muslim Secara Utuh

ilustrasi (gambar: slamic-center.or.id)

MTN, Jakarta – Masih banyak mispersepsi dan salah kaprah mengenai wisata ramah muslim di masyarakat. Seorang Profesor di Malaysia coba memberikan opininya secara mendalam tentang wisata ramah muslim.

Profesor Irwandi Jaswir dari International Institute for Halal Research and Training (INHART), International Islamic University Malaysia, menuliskan opininya secara lengkap mengenai wisata ramah muslim di The Jakarta Post.

“Menurut Laporan Indikator Ekonomi Islam Global 2020, pengeluaran Muslim untuk perjalanan meningkat 2,7 persen pada 2019 dari US$189 miliar menjadi US$194 miliar. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar menempati peringkat tiga negara teratas berdasarkan pembelanjaan. Namun, karena dampak buruk dari krisis COVID-19, pengeluaran konsumen Muslim untuk perjalanan diperkirakan turun 70 persen menjadi US$58 miliar pada tahun 2020,” tulis Irwandi.

Profesor itu menambahkan, kalau Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO) memperkirakan bahwa industri kehilangan total US$320 miliar hanya dalam lima bulan – antara Januari dan Mei 2020. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) telah memperkirakan kerugian US$2,2 triliun untuk industri tersebut pada tahun 2020.

Sementara seluruh dunia mengharapkan vaksin COVID-19 sebagai solusi yang ampuh, banyak negara telah memulai persiapan strategis agar industri pariwisata mereka pulih, termasuk pariwisata ramah Muslim.

Dipaparkan oleh Irwandi Jaswir, secara umum, wisata ramah muslim tidak berbeda dengan wisata halal, wisata islami atau wisata syariah. Namun, di beberapa negara, pelaku pariwisata lebih memilih istilah “ramah Muslim” daripada yang lain. Pariwisata ramah muslim diartikan sebagai jenis pariwisata yang menganut nilai-nilai Islam. Dalam keramahan ramah Muslim, disarankan agar semua pengembangan produk dan upaya pemasaran dirancang untuk dan diarahkan pada Muslim.

Layanan perhotelan ramah Muslim seperti maskapai penerbangan, hotel, dan layanan makanan adalah produk pariwisata baru yang berkembang pesat dalam industri pariwisata ramah Muslim.

Jika Indonesia juga berminat mengembangkan pariwisata ramah muslim, salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi adalah mengembangkan kerangka kerja nasional. Pasalnya, pada kenyataannya sudah banyak keluhan konsumen terkait layanan perhotelan. Ini termasuk iklan yang menyesatkan, paket liburan penipuan, persyaratan kontrak yang tidak adil, informasi yang tidak diungkapkan, layanan berkualitas rendah dan tidak efisien, dll.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memeriksa masalah ini dari perspektif konsumen untuk memastikan bahwa layanan perhotelan yang ramah Muslim adalah layanan yang ramah konsumen dan bebas dari masalah tersebut. Dalam melakukan hal tersebut, konsumen perlu dipastikan dilindungi secara memadai oleh peraturan hukum dan administratif.

“Pada 2012, saya dan tim mempelajari kerangka kerja pariwisata ramah Muslim di Malaysia. Untuk memastikan keberlanjutan pariwisata ramah Muslim, beberapa masalah perlu ditangani: Perlunya kerangka hukum dan administrasi terkait layanan perhotelan ramah Muslim secara umum. Kemanjuran manajemen dan administrasi hukum yang terkait dengan layanan perhotelan. Perlindungan hukum terkait dengan keterlibatan industri pariwisata dalam pariwisata ramah Muslim dan perhotelan untuk memastikan keberlanjutannya dan kemampuan untuk bersaing dengan perusahaan multinasional,” ungkap Profesor Jaswir.

“Kami percaya bahwa pariwisata terus memainkan peran kunci dalam perekonomian Indonesia untuk mendorong negara tersebut menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Di Asia Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-10 sebagai negara yang paling banyak dikunjungi di Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO). ) Tourism Highlights Edisi 2019 dengan 15,5 juta kunjungan turis internasional pada 2019. Wisatawan Muslim mencapai sekitar 20 persen dari total turis yang masuk ke Indonesia setiap tahun. Pada 2018, negara ini menarik sekitar 3 juta wisatawan Muslim, menyumbang US$3,9 miliar bagi perekonomian,” tambah Irwandi.

Layanan perhotelan dan pariwisata ramah Muslim adalah segmen hasil tinggi yang memiliki potensi untuk berkembang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan Indonesia.

Ketersediaan makanan halal, keberadaan masjid dan musholla di tempat umum, kawasan belanja bebas pajak dan suasana ramah muslim belum cukup untuk menopang tumbuh kembangnya pelayanan perhotelan ramah muslim di Indonesia. Dalam jangka panjang, ini harus menjadi industri yang diatur dengan ketat yang mampu menetapkan standar global.

Meskipun hampir tidak mungkin untuk memiliki sistem yang sangat mudah dibuktikan, seperangkat undang-undang, peraturan dan mekanisme administratif perlu dikembangkan untuk memastikan pertumbuhan dan keberlanjutannya. Misalnya, definisi dan terminologi yang tepat yang melingkupi industri sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahpahaman dan kesalahpahaman di kalangan konsumen.

Untuk lebih mendukung industri dan untuk menghindari penipuan konsumen, fasilitas dan layanan yang umumnya terkait dengan industri, seperti zona khusus untuk hiburan dan kebugaran, harus didaftarkan dan diatur dengan benar.

“Ini harus menjadi persyaratan bahwa program pelatihan khusus dirancang untuk pemandu wisata e-Muslim. Demikian pula, setiap spa kesehatan dan kebugaran yang mengklaim ramah Muslim harus terdaftar secara hukum dan disertifikasi oleh otoritas terkait,” pungkas Irwandi Jaswir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *