Inilah Tiga Strategi untuk Perkuat Wisata Halal Lokal

ilustrasi (foto: madaninews.id)

MTN, Jakarta – Wisata halal gemanya di lokal akhir-akhir ini kian menguat. Seorang pengamat memberikan tiga strategi untuk memperkuat sektor wisata halal lokal. Seperti apa?

Dilansir dari situs MUI, Dr Tatan Hermansah, Anggota Komisi Infokom MUI, memberikan saran berupa tiga strategi untuk memperkuat wisata halal lokal kita.

Beberapa langkah strategis untuk memperkuat wisata halal menurut Dr Tatan Hermansah antara lain:

  • Pertama, aktivitas wisata halal harus diikuti dengan motivasi pemberian pencerahan kepada para pelancongnya. Misalnya ketika mendatangi sebuah kawasan wisata, pelancong atau wisatawan disuguhkan juga proses batinnya, seperti ada pengajian, dzikiran, dan sebagainya.
  • Kedua, setelah penguatan narasi batin di atas, jika untuk hal-hal tertentu, paket wisata halal bisa diperkaya dengan aspek partisipasi dari pelancong pada berbagai kegiatan halal, seperti ikut makan bersama dengan entitas masyarakat di destinasi, mengikuti atraksi kegiatan halal lain seperti mengaji bareng santri dan sebagainya.
  • Ketiga, penguatan kelembagaan yang praktiknya ditunjukkan dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas destinasi. Wisatawan atau para pelancong wisata halal diberikan keleluasaan untuk mengetahui segala bentuk proses kehalalan dari destinasi mulai dari kawasan yang inklusif dan toleran, karyawan yang amanah serta paham akan hakikat halal itu sendiri dan proses manajemen destinasi yang hanya mengelola produk halal.

Ketiga langkah strategis di atas cukup penting diterapkan dengan serius karena, seperti sudah disinggung, wisata halal bukan sekadar melulu mendatangi sebuah kawasan, melainkan wisata halal menjadi suatu arena berbagi pengalaman batin dari destinasi kepada para wisatawan. Pengalaman batin ini tentu bisa menjadi pemicu tumbuhnya hormon-hormon bahagia seperti hormon dopamin, hormon serotonin dan hormon endorfin, selain perasaan spiritual.

Ketiga hormon plus perasaan spiritual itulah yang akan menghasilkan ikatan batin antara pelaku dengan destinasi. Sehingga dari keterikatan itu juga, selain potensi akan kembalinya para wisatawan ini ke destinasi tersebut, juga akan menebarkan kedamaian dan keharmonian dalam kehidupan pelakunya.

Sejak dulu wisata adalah pengalaman. Pengalaman itu melibatkan seluruh pancaindra bahkan jiwa dari semua pelakunya. Maka makna dari ruang wisata menjadi meluas, bukan sekadar penghias mata, melainkan lebih jauh untuk melayani kebutuhan hati. Hati sendiri adalah ruang yang sangat luas, sehingga proses memahaminya tidak bisa hanya fisik, tetapi juga batin, yang kebutuhannya hanya bisa diberikan melalui penjelajahan secara spiritual.

Di sinilah mengapa wisata halal bukan semata kegiatan kunjungan. Wisata halal harus diberikan, dan memang memiliki, makna lebih. Meski indikator internasional hanya menyebutkan hal-hal terkait pelayanan fisik, seperti ramah keluarga, ketersediaan tempat ibadah yang nyaman dan makanan yang halal, namun makna lebih dalam dari indikator yang dikehendaki kaum Muslimin itu adalah adanya pengalaman ketenangan batin. Inilah yang seharusnya dijangkau dalam konteks penguatan wisata halal di mana pun di Indonesia.

Pengamat: “Wisata Halal Adalah Konsep Pariwisata Futuristik”

ilustrasi (foto: antaranews.com)

MTN, Jakarta – Salah seorang pengamat dunia pariwista, mengatakan kalau wisata halal adalah konsep pariwisata yang futuristik. Seperti apa?

Dilansir dari Suara.com, Atang Trisnanto M.Si, mahasiswa doktoral Sekolah Pascasarjana IPB University, yang juga seorang pengamat dunia pariwisata, mengatakan kalau wisata halal adalah pertanda kalau konsep pariwisata futuristik sudah ada hadir di Indonesia.

“Karena ada perubahan trend bahwa pariwisata masa depan itu adalah ‘family tourism’ dan ‘friendly tourism’, dan tidak lagi hanya sekadar ‘fun tourism’ atau kesenangan berwisata semata,” ujar Atang Trisnanto.

Karena itu, menurut Atang, sebagai satu konsep wisata futuristik ke depan, maka wisata halal yang akan bisa menjawab sebuah kebutuhan pariwisata di masa masa yang akan datang.

Atang mengakui bahwa selama ini, meski kini sudah tidak menjadi perdebatan yang sengit, masih ada yang mengartikan wisata halal sebagai sebuah konsep Islamisasi regulasi ataupun Islamisasi konsep.

“Padahal wisata halal ini perlu dipahami sebagai sebuah konsep untuk menghadirkan keterpaduan sistem pariwisata yang bersih (clean), sehat (health), aman (safety) dan juga nyaman (comfort),” jelas Atang yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Bogor itu.

Keterpaduan sistem pariwisata itulah, menurut Atang, di dalam konteks halal dimaksud, adalah memastikan kalau tempatnya bersih, makanannya bersih juga sehat.

Menurut Atng dengan bergesernya tren saat ini; orang berwisata bersama dengan keluarga, teman dan komunitas, akan menjadi tantangan yang menarik ke depan.

“Tinggal pekerjaan rumah yang kemudian perlu dikuatkan lagi adalah bagaimana konsep wisata halal ini melibatkan banyak pihak, terutama dari masyarakat kelas bawah,” pungkasnya.

Pemerintah Gaet Investor UEA untuk Kembangkan Wisata Halal di Aceh

foto: laduni.id

MTN, Jakarta – Pemerintah Indonesia gaet investor asal Uni Emirat Arab untuk kembangkan wisata halal di Aceh.

Dilansir dari Kompas, pemerintah Indonesia berencana untuk gaet investor asal Uni Emirat Arab (UEA) untuk kembangkan wisata halal di Aceh

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan pihaknya bersama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan mengembangkan wisata halal di Provinsi Aceh. Salah satu alternatif pembiayaan investasi untuk pembangunan wisata halal tersebut direncanakan berasal dari Uni Emirat Arab (UEA).

“Kami akan ke UEA dengan rombongan berikut bersama Kemenparekraf, untuk menbahas wisata halal di Aceh. Rencananya akhir tahun ini kalau tidak ada halangan,” kata Bahlil saat Konferensi Pers Nota Kesepahaman Kerjasama di Bidang Penanaman Modal Pada Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pada awal pekan ini (23/8).

Bahlil menambahkan apabila wisata halal di Aceh mencapatkan kucuran dana dari UEA, maka akan berdampak pada ekonomi setempat. Mengingat akibat pandemi virus corona, pariwisata di Aceh jadi sepi pengunjung.

Tak hanya itu, dengan diberlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, investor yang taruh modalnya di Aceh harus melibatkan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Selain itu, dari sisi perizinan investor juga dipermudah dengan adanya Online Single Submission (OSS) Risk Based Approach (RBA) atau OSS berbasis risiko.

Ke depannya, Bahlil berharap, selajan dengan proses pemulihan ekonomi yang berlangsung hingga saat ini, demand pariwisata dapat kembali meningkat. Sehingga, saat wisata halal di Aceh sudah dikembangkan, banyak wisatawan yang datang ke Daerah Istimewa tersebut.

“Sekarang infrastruktur sedang kami kembangkan di sana, untuk mendorong wisata halal ini perizinan juga dipermudah dan kemudian diberikan insentif fiskal dan non fiskal,” ujar Bahlil.

Bahlil menambahkan, salah satu fasilitas khusus yang diberikan kepada sektor pariwisata halal yakni dibebaskannya biaya sertifikat halal dan Standar Nasioanl Indonesia (SNI) yang ditanggung oleh pemerintah.

Turun Peringkat di GMTI 2021, PKS Dorong Kemenparekraf Tingkatkan Wisata Halal

GMTI 2021 (gambar: destinasian.co.id)

MTN, Jakarta – Indonesia turun peringkat di Global Muslim Travel Indeks (GMTI) 2021, Partai Keadilan Sejahtera dorong agar Kemenparekraf tingkatkan wisata halal.

Dilansir dari situs resmi PKS, Indonesia turun jadi peringkat keempat di Global Muslim Travel Indeks (GMTI) 2021, anggota legislatif Partai Keadilan Sejahtera dorong agar Kemenparekraf tingkatkan wisata halal.

Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, mendorong Kemenparekraf agar melakukan strategi pembenahan dan peningkatan wisata halal, supaya Indonesia bisa kembali menjadi destinasi pilihan muslim friendly nomor satu di tahun depan.

“Situasi pandemi memang telah memukul dunia pariwisata secara global. Namun, pariwisata dunia tidak mati, hanya berjalan lebih lambat. Dari sini kita perlu memikirkan strategi agar dalam perlambatan situasi ini kita tetap bisa mengkreasikan berbagai program wisata yang aman dan tetap ‘muslim friendly’, memberi kenyamanan kepada ‘traveler’ muslim,” ujar Ledia.

Beberapa indikator yang digunakan GMTI dalam membuat peringkatan di antaranya: akses, komunikasi, lingkungan, dan layanan. Di antara turunan dari indikator ini terdapat ketersediaan sarana ibadah juga akses pada penyediaan makanan halal, di samping seluruh indikator lain yang secara umum menjadi nilai plus dalam penyediaan dan pengelolaan wisata. Selain itu rating yang dikeluarkan pada 2021 ini, pihak GMTI juga mengukur kesiapan satu negara dalam membuat rencana pengelolaan wisata di tengah situasi pandemi yang melanda dunia.

“Karena ini adalah ukuran bagaimana satu negara siap mengkreasikan dan menyiapkan program dan destinasi wisata yang ramah muslim, termasuk bagaimana di masa pandemi ini suatu negara punya rencana pengelolaan wisata yang aman secara protokol kesehatan, maka kita perlu introspeksi diri mengapa kita turun peringkat sementara beberapa negara tetap bertahan bahkan ada yang naik peringkat sebagai tujuan wisata para ‘traveler’,” ujar Ledia.

Sekretaris Fraksi PKS ini mengingatkan, meski sedang dalam masa pandemi pihak Kemenparekraf tetap harus secara serius dan sungguh-sungguh menyiapkan destinasi wisata halal agar bisa menarik kembali kedatangan para pelancong muslim dari berbagai negara dan menempatkan kembali Indonesia para peringkat teratas negara tujuan wisata yang ramah muslim.

“Dampak pandemi kan berbeda situasinya pada setiap wilayah sehingga perlu dikreasikan berbagai program wisata yang sesuai dengan status pandemi di wilayah tersebut. Juga untuk persiapan pembukaan destinasi wisata halal pascapandemi karena kan tidak bisa ujug-ujug dibuat setelah pandemi usai tetapi harus disiapkan sejak sekarang,” tambah Ledia.

Saat menyebut perlunya Kemenparekraf menyiapkan program ‘wisata halal’ pada berbagai destinasi dan program wisata Ledia sekaligus mengingatkan agar jangan ada lagi salah persepsi yang bisa memunculkan salah pengertian. Sebab seringkali ketika bicara wisata halal yang muncul adalah salah pengertian seolah wisata halal itu berarti membuka, mengkreasikan sesuatu yang baru, lalu ada perintah dan larangan khusus terkait nilai-nilai agama.

“Padahal bukan demikian. Wisata halal sesungguhnya merujuk pada pengembangan layanan dari yang sudah ada agar memiliki nilai tambah yaitu ‘muslim friendly’. Jadi satu destinasi atau program wisata tetap harus memenuhi syarat umum CHSE; Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment (Ramah lingkungan) dan ketika akan dikondisikan menjadi destinasi atau program wisata halal hanya perlu pengembangan layanan. Artinya program atau destinasi wisata tersebut disiapkan agar pelancong muslim dapat terpenuhi haknya seperti hak untuk mendapat akses makanan halal dan sarana beribadah.” jelas aleg FPKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menyebutkan bahwa konsep pengembangan wisata ‘muslim friendly’ sudah menjadi rencana terstruktur dari berbagai negara di dunia, termasuk negara yang penduduknya minoritas muslim.

“Contoh saja Singapura, Taiwan, Jepang dan Thailand yang menyadari betul besarnya potensi pemasukan devisa dari para ‘traveler’ muslim dunia sehingga mereka sangat serius menggarap program dan destinasi wisata yang ‘muslim friendly’. Karena itu sebagai negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia dan memiliki ribuan program serta destinasi wisata menakjubkan kita jangan sampai tertinggal untuk menjadi negara tujuan wisata yang ‘muslim friendly’ juga.” pungkas Ledia.

Aspek Koordinasi Hambat Potensi Besar Wisata Halal di Jawa Barat

ilustrasi (foto: madaninews.id)

MTN, Jakarta – Aspek komunikasi dan koordinasi hambat potensi besar wisata halal di Jawa Barat. Seperti apa?

Dilansir dari Pikiran Rakyat, Diskusi Kelompok Terpumpun FGD dengan tema “Struktur Ekosistem Halal dan Analisis Kebijakan Pemerintah tentang Wisata Halal (Kasus Di Indonesia)”, pada akhir Juli 2021 kemarin menyatakan kalau potensi pengembangan pariwsata halal di Jawa Barat dan Indonesia secara umum sangatlah besar, namun, kendala dalam aspek komunikasi dan koordinasi masih membuat impelementasi kebijakan pengembangannya tersendat.

Diperlukan sinergi, kolaborasi, dan kesepahaman antarberbagai pemangku kepentingan (stakeholders) agar iktikad menjadikan Indonesia sebagai tujuan utama pariwisata global dapat tercapai.

FGD yang digelar secara daring (webinar) tersebut diinisiasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba) dengan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung.

Kegiatan yang dibuka Ketua LPPM Unisba Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie itu menghadirkan narasumber Lusi Lesminingwati, SE., MM selaku Kepala Bidang Industri Pariwisata Disbudpar Jabar, Ir. Dina Sudjana (Ketua Harian Pusat Halal Salman ITB), dan R. Wisnu Rahtomo, S.Sos.,MM (Ketua Jurusan Kepariwisataan STP Bandung, serta H. Herman Muchtar, SE, MM yang mewakili pengusaha.

Selain itu juga hadir anggota tim peneliti Fitri Rahmafitria, SP, MSi, Dr. Efik Yusdiansyah, SH., M.Hum, Ajang Lestari, dan Ferra Martian, M.I.Kom.

Menurut Lusi (Kepala Bidang Industri Pariwisata Disbudpar Jabar), potensi industri pariwisata halal di Jabar sangat besar meski saat ini baru menempati peringkat keenam nasional setelah: Lombok, Aceh, Riau, DKI, dan Sumbar.

“Berdasarkan data BPT pada tahun 2019 kenaikan 20 persen kunjungan wisatawan ke Jabar yakni sebanyak 3,6 juta dengan 1,4 juta (40 persen) dari negara muslim. Ini artinya secara potensi sangat prospektif. Dalam pelaksanaannya, sesungguhnya dengan penduduk mayoritas muslim kita sudah berada dalam situasi yang bagus karena sebetulnya wisata halal itu bermakna extended services,” ungkap Lusi.

Namun, ujar dia, harus diakui masih ada persoalan koordinasi karena justru di lapangan seringkali penyebutan istilah wisata halal justru menjadi sensitive. “Inilah yang saya kira harus dibicarakan dan dikoordinasikan dengan lebih baik lagi,” tambahnya.

Dalam paparannya, Dina Sudjana menegaskan secara konseptual sesungguhnya Indonesia sudah sejak lama menggagas apa yang disebut industri pariwisata halal.

“Saya sempat menjadi auditor halal LPPOM MUI dan menginisiasi kehadiran hotel syariah pertama di Jabar bahkan nasional. Kami juga menginisiasi hadirnya prototipe kantin halal sebagai destinasi wisata kuliner di Kantin Salman ITB,” katanya menguraikan.

Terbukti, kata Dina, Kantin Salman ITB meraih peringkat tertinggi destinasi wisata kuliner nasional. Pada 2014 bahkan Jepang belajar langsung ke Salman untuk memahami bagaimana konsep wisata halal ini.

“Buktinya, Jepang sekarang justru semakin maju dalam mengemas wisata halal ini dan sebaliknya di Indonesia masih sering terjebak pada debat yang tidak produktif,” ujarnya.

Sementara itu, Wisnu Rahtomo yang juga Kepala Unit Center for Tourism Destination Studies (CTDS) Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung mengakui, capaian industri pariwisata halal di tanah air itu jauh tertinggal dengan negara jiran.

Pada tahun yang sama, Malaysia mampu meraih sebanyak enam juta wisatawan, Singapura mendapat empat juta, dan Thailand mencapai lima juta.

Ia menegaskan Indonesia harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan lebih banyak wisatawan Muslim. Penyebabnya, Indonesia belum mampu menghasilkan produk wisata halal yang dipercaya oleh turis asing. Padahal, sisi produk itu yang menjadi perhatian utama wisatawan Muslim.

“Jika ingin menjadi pemenang dalam kompetisi ini pelaku usaha industri halal tourism ini mesti mengikuti standar global. Patokan itu berisikan sejumlah indikator yang menunjukkan bagaimana sebuah destinasi bisa diminati,” ungkap Wisnu.

Untuk itu, Wisnu mengatakan Pemprov Jabar sudah membentuk tim percepatan perwujudan destinasi halal dengan sistem yang terintegrasi dan memiliki indikator yang terukur. Pihaknya juga sudah menjalin MoU dengan Kemenparekraf.

“Tim sudah memiliki pilot project yakni destinasi wisata kuliner di Kabupaten Bandung Barat yang sudah mengikuti standar CHSE pariwisata halal, yakni Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Herman Muchtar, mengatakan, perkembangan wisata halal hingga saat ini masih terus berkutat di tataran wacana.

“Bagi pengusaha mudah saja ukurannya jadi bisnis atau enggak. Nah, pemerintah harus mampu menjamin dan memfasilitasi ekosistem yang memungkinkan bisnis ini jalan,” katanya.

Wagub Jabar Ajak ICMI Kembangkan Wisata Halal di Kawasan “Rebana Metropolitan”

MTN, Jakarta – Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, mengajak Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk ikut berkontribusi dalam mengembangkan kawasan “Rebana Metropolitan”.

Dilansir dari Antara News, Rebana Metropolitan atau Segitiga Rebana memiliki posisi strategis dan sedang dijalankan sebagai mesin ekonomi baru Jawa Barat (Jabar).

Rebana Metropolitan ini merupakan wilayah utara/timur laut Provinsi Jabar yang meliputi tujuh daerah, yakni Kabupaten Sumedang, Majalengka, Cirebon, Subang, Indramayu, Kuningan dan Kota Cirebon.

Penduduk di kawasan Rebana Metropolitan berjumlah 9,28 juta atau sekitar 18,82 persen dari total 49,3 juta jiwa penduduk Jabar per 2019.

“Segitiga Rebana pusat pertumbuhan ekonomi, (termasuk) sektor jasa dan wisata halal. Cirebon punya potensi luar biasa, kami yakin sektor jasa dan pariwisata halal juga merupakan cara dakwah zaman now,” ujar Wagub Jabar, saat jadi pembicara pada Silaturahim Kerja Daerah ICMI Kabupaten Cirebon yang dilakukan secara virtual, pada pekan lalu (5/8).

Apalagi, lanjut Ruzhanul, 90 persen warga Jabar merupakan muslim, sehingga ICMI diharapkan untuk bisa memberdayakan masyarakat untuk menciptakan ekosistem industri jasa dan pariwisata halal.

Dengan konsep memudahkan wisatawan muslim untuk memenuhi kebutuhan mereka saat berwisata, seperti mencari makanan halal, tempat untuk beribadah, dan sebagainya. Maka, masyarakat yang hendak berkecimpung bisa mengambil peran dalam pemenuhan kebutuhan wisatawan tersebut.

Selain itu, Wagub Jabar juga menekankan selain dengan penguatan di sisi tarbiyah (pendidikan), serta terjun ke dunia siyasah (politik), tak boleh ketinggalan umat pun harus bersemangat dalam muamalah (usaha).

Maka sektor jasa dan pariwisata halal menjadi ekosistem yang menarik untuk terus didukung, katanya.

“Tidak cukup paham dengan meningkatkan pendidikannya, serta mendorong umat Islam terlibat dunia perpolitikan, penting juga mendorong masyarakat berkiprah dalam bidang ekonomi,” kata Wagub Jabar.

Dengan begitu, lanjut dia, umat akan berdikari dengan ekonomi yang kuat. Artinya, kata dia, mayoritas masyarakat Jabar muslim, maka peluang ekonomi jangan sampai tidak dinikmati oleh umat Islam.

Potensi Industri Wisata Halal Indonesia Diperirakan Mencapai Rp22 Ribu Triliun

ilustrasi (foto: pariwisatasumut.net)

MTN, Jakarta – Mengingat Indonesia adalah negara muslim terbesar, tak mengherankan kalau potensi nilai industri wisata halalnya sangat besar. Menparekraf memprediksi kalau nilainya sebesar Rp22 ribu triliun!

Dilansir dari Liputan6, Menparekraf, Sandiaga Uno, menyebut kalau potensi nilai industri wisata halal di Indonesia adalah lebih dari USD 1,6 triliun atau sekitar Rp 22,9 kualidriun (kurs 14.334 per dolar AS).

Hal tersebut disampaikan Sandiaga Uno dalam Webinar Nasional sekaligus Pelantikan Pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Komisariat UIN Sultan Syarif Kasim Riau periode 2020-2023, pekan lalu (4/8).

Sandi menilai Industri halal memiliki potensi yang luar biasa, serta mampu mencetak lapangan pekerjaan. Besarnya potensi wisata halal yang dimiliki Indonesia merujuk peringkat Indonesia dalam World Travel and Tourism Console Index tahun 2018.

Indonesia, kata Sandiaga, menempati posisi kesembilan di dunia dan nomor satu di Asia Tenggara. Sedangkan, berdasarkan Globaly Economy Report, terdapat lima negara muslim di dunia yang memiliki potensi wisata halal terbesar, yaitu Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait dan Indonesia.

Namun pandemi Covid-19 memicu kemerosotan. Kontribusi sektor parekraf yang sudah hampir menyentuh lima persen terhadap ekonomi nasional pun kini anjlok.

Alasannya karena wisatawan mancanegara turun sebesar 75% dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.

Tapi Menparekraf meyakini kalau wisata muslim friendly tourism akan berhasil. Hal ini karena pariwisata nantinya akan lebih personalized, customized dan smaller in size; yang mengacu kepada prinsip halal dan thoyib dengan aspek CHSE-kebersihan, kesehatan, keselamatan dan keberlanjutan dari segi lingkungan.

Ini Dia Lima Destinasi Wisata Halal di Jepang

MTN, Jakarta – Jepang kini merupakan salah satu destinasi wisata halal di Asia. Banyak kota di Negeri Matahari Terbit tersebut kini mulai banyak fasilitas halal.

Dilansir dari CNN Indonesia, berikut adalah lima kota di Jepang yang pas untuk dijadikan destinasi wisata halal. Apa saja?

Hokkaido (foto: hokkaido-treasure.com)

Hokkaido
Destinasi wisata halal di Jepang pertama ada di Hokkaido. Kawasannya sudah cukup ramah Muslim karena memiliki banyak restoran, hotel, hingga tempat ibadah bagi umat Islam.

Restoran halal di Hokkaido yang bisa kunjungi di antaranya Donburichaya New Chiste, Tohachi di Ashikawa, atau tempatnya dessert lezat di Patisserie Foy.

Ada pula tempat berbelanja yang menyediakan musala yaitu Chitose Outlet Mall Rera, Daimaru Sapporo. Anda juga tak perlu khawatir jika harus melaksanakan salat di tengah waktu menunggu pesawat. Bandara Asahikawa atau New Chitose juga menyediakan musala bagi umat Muslim.

Untuk hotel ramah Muslim, Anda bisa memilih Rusutu Hotel, Sahoro Resort, Clubby Sapporo, WBF Hakodate Watatsuminoyu, dan masih banyak lagi.

Kansai (foto: awol.com)

Kansai
Kansai juga termasuk destinasi wisata yang mempunyai fasilitas ramah Muslim. Selain populer dengan wisata perairan, alam, hingga museum, di daerah Kanto tidak perlu khawatir untuk urusan penginapan, tempat ibadah, restoran, hingga pusat perbelanjaan.

Restoran yang menyajikan makanan halal tanpa babi di antaranya Halal Kobe Beef Nagomi, ALI’s Kitchen Shinsaibashi, ICHIRAN Namba Midosuji, dan banyak lagi.

Sementara pusat perbelanjaan yang menyediakan tempat salat yaitu: EXPO CITY, Ninja-Do, Mabruk, dan Rinku Premium Outlets.

Ada juga penginapan yang menyediakan menu sajian halal di Kansai, di antaranya Hotel Granvia Osaka, Kintetsu Universal City, dan Minamitei Hot Spring Resort.

Chiba (foto: hisgo.com)

Chiba
Prefektur Chiba yang terletak di bagian timur Tokyo ini merupakan kota paling ramah Muslim terbesar. Untuk urusan kenyaman wisatawan Muslim, Chiba memiliki banyak restoran halal yang bisa dikunjungi seperti Sai-Sau do Ichihara, Shokujin di Makuhari, dan Takotako di Chiba City.

Hotel pilihan di Chiba bagi Muslim di antaranya Mapple Inn di Makuhari, Ichihara Marine, Port Plaza di Chiba City.

Sedangkan area pusat perbelanjaan di Chiba dengan fasilitas tempat salat di antaranya AEON Mall Makuhari New City.

Okayama

Okayama
Selain Kansai, Osaka, Chiba, destinasi wisata muslim friendly berikutnya adalah Kota Okayama. Di daerah ini juga ada Komunitas Muslim Jepang yang menyediakan paket tur halal.

Meski minoritas, otoritas setempat sangat mendukung komunitas Muslim. Di Okayama terdapat peach mark yang memberi info perihal servis atau produk non-babi dan alkohol.

Peach mark 1 menandakan hanya menu tertentu yang bebas babi, sementara Peach Mark 2 bebas babi dan alkohol. Tanda Peach Mark dapat ditemui di restoran dengan ikon gambar buah persik.

Restoran halal di Okayama yang sudah bersertifikat halal di antaranya Milenga Indian Cuisine, Shabu & Sukiyaki Hitori Nabe Megu, Lamb BBQ Hiruzen Kogen Center, dan Koeido-Kibi Dango.

Penginapan yang punya menu makanan halal serta tempat salat juga cukup banyak. Seperti ANA Crowne Plaza Okayama sampai Okayama Resort Hotel.

Tokyo (foto: helena bradbury)

Tokyo
Ibu kota Jepang, Tokyo, menjadi salah satu destinasi wisata favorit wisatawan dari berbagai penjuru negara.

Di Tokyo, wisatawan Muslim tidak perlu khawatir tidak menemukan resto atau tempat ibadah karena lokasinya tersebar di banyak titik.

Menikmati kuliner khas Jepang tanpa babi bisa ke Hanasakaji-San atau sajian Timur Tengah di Aladdin, Minato City.

Sakura Hotel Hatagaya, Sheraton Miyako Tokyo, Shinjuku Price Hotel, Agora Place Asakusa, termasuk ke dalam daftar penginapan yang ramah Muslim.

Wisata Halal, Konsep Wisata Paling Tepat saat Pandemi

ilustrasi (foto: pikiran-rakyat.com)

MTN, Jakarta – Di saat pandemi seperti sekarang ini, gaya hidup sehat dan higienis adalah sebuah kewajiban. Konsep wisata halal dianggap cocok untuk diterapkan saat pandemi seperti sekarang ini.

Dilansir dari Republika, konsep wisata halal dinilai paling cocok dilaksanakan dalam masa pandemi Covid-19. Konsep wisata ramah Muslim pun telah sejalan dengan konsep cleanliness, health, safety, and environmental sustainability (CHSE), yang kini menjadi standar dalam penyelenggaraan pariwisata pada masa pandemi.

Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan di Kemenparekraf, Rizki Handayani, mengatakan kalau konsep CHSE telah memberikan dampak signifikan pada peningkatan kepercayaan masyarakat untuk berwisata dengan aman dan sehat dalam masa pandemi.

“Jika dikaitkan dengan wisata ramah Muslim, ini sesuai dengan kaidah Islam karena penyediaan fasilitas, pelayanan jadi aman, nyaman, juga sehat,” ujar Rizki di acara diskusi Halal in Travel Global Summit 2021, pekan lalu (13/7).

Wakil Ketua Umum Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI), Wisnu Rahtomo, menyampaikan kalau PPHI tengah mengembangkan konsep CHSE+ untuk pemenuhan kebutuhan Muslim secara lebih lengkap. Tidak hanya dari sisi protokol kesehatan yang sesuai dengan anjuran dalam gaya hidup halal, tapi juga pemenuhan sarana ibadah, seperti sanitasi, keperluan wudhu, dan tempat shalat.

Wisnu mengatakan, konsep ini menjadi nilai tambah pariwisata halal di tengah kondisi pandemi. Secara detail, konsep itu dibagi dalam tiga lapis kategori yang diambil dari pengembangan pariwisata halal, yakni need to have, good to have, dan nice to have.

“Misalnya, level sinergi ini kita ingin terapkan CHSE dengan lapis pertama ada cleanliness, maka plusnya itu adalah toilet muslim friendly dan ada sarana ibadah,” katanya.

Dari sisi amenitas, pelaku wisata juga didorong untuk memiliki sarana-sarana untuk pengelolaan air limbah, ramah lingkungan, dan bertanggung jawab. PPHI akan menggelar pilot project CHSE+ ini di wilayah Cianjur, Bandung, dan Bandung Barat.

Ketua Bidang Industri Bisnis dan Ekonomi Syariah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Bukhori Muslim, menyampaikan, DSN MUI sudah memiliki fatwa pelaksanaan prinsip wisata halal dan telah menerapkan konsep CHSE. Ini karena Islam telah mengajarkan konsep tersebut dalam keseharian.

“Kalau kita belajar fikih pertama kali, bab pertama itu adalah kebersihan. Nilai-nilainya sudah ada seperti yang disampaikan pemerintah dalam program CHSE,” ujarnya.

Ia menyampaikan, konsep CHSE tersebut telah sesuai dengan nilai dasar syariat Islam. Dengan demikian, penerapan standar kebersihan, kesehatan, dan keselamatan orang lain telah sesuai dalam konsep pedoman wisata halal yang sudah ada.

Indonesia Turun Peringkat di Daftar Destinasi Wisata Halal Terbaik Dunia 2021

MTN, Jakarta – Ada kabar kurang menyenangkan, karena Indonesia turun peringkat di daftar destinasi wisata halal dunia untuk tahun 2021.

Dilansir dari Kompas, Indonesia kini berada di posisi keempat dalam daftar 20 destinasi wisata halal terbaik dunia 2021 versi Global Travel Muslim Index (GMTI) 2021 dengan skor 73.

Sebelumnya pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi pertama bersama dengan Malaysia dengan skor imbang, yakni 78.

Saat ini Malaysia masih berada di posisi pertama, disusul oleh Turki di posisi kedua, Arab Saudi di posisi ketiga, dan Uni Emirat Arab (UEA) di posisi kelima.

Indonesia kini juga berada di posisi kedua dalam kategori Komunikasi versi GMTI 2021. Dalam kategori ini, penilaian berdasarkan bagaimana pelaku usaha pariwisata mempromosikan layanan mereka guna memudahkan para wisatawan, misalnya dengan merilis panduan restoran halal atau panduan untuk wisatawan Muslim.

GMTI 2021 juga memposisikan Indonesia sebagai destinasi nomor tiga dalam kategori Pelayanan. Penilaian berdasarkan bagaimana sebuah destinasi menawarkan pengalaman yang baik untuk wisatawan Muslim, termasuk di bandara, restoran, dan hotel.

GMTI 2021 merupakan laporan riset pasar perjalanan Muslim yang diluncurkan oleh Mastercard dan CrescentRating. Tahun 2021 merupakan tahun keenam mereka meluncurkan laporan riset tersebut.

Dalam sambutannya, Founder dan CEO CrescentRating Fazal Bahardeen mengatakan bahwa pandemi Covid-19 memberi dampak signifikan terhadap sektor pariwisata. Jumlah kedatangan wisatawan Muslim internasional mengalami peningkatan dari sekitar 108 juta di tahun 2013 menjadi 160 juta di tahun 2019. Namun, kenyataannya, jumlah kedatangan wisatawan Muslim turun ke angka 42 juta di tahun 2020. Lebih dari 90 persen perjalanan dilakukan di kuartal pertama tahun 2020 sebelum akhirnya banyak negara menerapkan pembatasan perjalanan.

“Seiring kita memulai perjalanan pemulihan ini, kami memproyeksikan bahwa pasar perjalanan Muslim akan kembali ke (angka) 2019 di tahun 2023,” ujar Fazal di keterangan resminya.

Sejumlah negara juga mulai membuka perbatasan hingga akhir tahun ini, sehingga diharapkan jumlah kedatangan wisatawan Muslim akan mencapai 26 juta di tahun 2021.