Korsel Ajak Turis Muslim Indonesia Liburan Virtual

ilustrasi (foto: bizandleisure.com)

MTN, Jakarta – Korea Selatan mengajak para wisatawan muslim di Indonesia untuk liburan secara virtual ke negara mereka. Seperti apa?

Dilansir dari Detik, pihak Korea Tourism Organization (KTO) membuat festival online dengan nama Muslim Friendly Korea Online Festival. Festival tersebut diadakan virtual melalui Live Instagram KTO.

“Korea Selatan terus memaksimalkan festival muslim sejak tahun lalu. Karena Korea Selatan selalu ingin wisatawan Indonesia kembali ke sana,” ujar Director KTO, Llyod JS Byun.

Acara pembukaan dimeriahkan dengan tarian khas Korsel, Arirang. Suasana musim gugur yang romantis menjadi latar dari festival online itu.

“Tujuan dari acara ini adalah untuk memperkenalkan destinasi ramah muslim kepada wisatawan Indonesia,” ujar MICE Manager KTO, Akhmed Faezal A.

Faezal mengungkapkan bahwa Pemerintah Korsel terus meningkatkan fasilitas publik untuk wisatawan muslim yang datang ke sana. Misalnya saja musala, tempat wudu dan water gun.

“Kini bukan cuma bandara tapi juga tempat-tempat wisata lainnya juga sudah dilengkapi,” dia mengisahkan.

Muslim Friendly Korea Online Festival diharapkan dapat menghidupkan kembali antusiasme industri pariwisata yang terdampak penyakit virus korona (COVID-19). Ini adalah menjadi pameran pertama yang dibuka secara online.

Upacara pembukaan Korea Tourism Virtual Fair 2020 ini juga merilis video klip yang dibawakan oleh grup K-pop, ITZY, dan penandatanganan MOU secara online antara KTO dan Klook. Pameran ini akan menampilkan berbagai acara seperti penampilan figur-figur terkenal Korea, layanan konseling bisnis online, dan PR hall untuk pariwisata di Korea dan bisnis industri perjalanan.

Acara Muslim Friendly Korea Online Festival juga merupakan bagian dari program Korea Month untuk bulan Oktober oleh Korea Tourism Organization (KTO) cabang Jakarta.

Perlunya Rebranding Bagi Wisata Halal untuk Tarik Minat Masyarakat

ilustrasi (gambar: Riau Magz)

MTN, Jakarta – Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh industri wisata halal jika ingin tarik minat masyarakat. Salah satunya dengan rebranding. Seperti apa?

Dilansir dari Detik, untuk bisa menarik minat dari masyarakat muslim, tentu pemegang bisnis halal, misalnya pariwisata atau restoran harus memberikan rasa percaya kepada konsumen. Ada berbagai tindakan yang harus dilakukan untuk menunjukkan branding halal.

“Sebagai contoh, untuk makanan halal, kita harus melakukan rebranding, makanan halal adalah adalah makanan sehat, halal adalah sehat, itu penting sekali sehingga orang bisa mendapat pemahaman ada restoran halal berarti itu restoran sehat,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng, dalam Webinar ‘New Strategy and Business Model of Halal Business’.

Begitu pula dengan fashion dan juga pariwisata halal. Para pemilik usaha harus bisa mengedepankan kebersihan dalam mempromosikan wisata halalnya.

“Pariwisata ramah muslim ini juga merupakan bagian dari pariwisata bersih, dengan mandat kita bahwa kebersihan sebagian dari iman,” ujar Sugeng.

“Thailand telah mendeklarasikan negara mereka sebagai world halal kitchen, Korea Selatan tujuan wisata ramah muslim, negara nonmuslim seperti China juga sangat memiliki industri fashion halal. Ini tidak boleh kita biarkan, kita harus juga bisa maju di area ini,” tambahnya.

Menurut Sugeng, Indonesia memiliki potensi besar untuk bisa mengembangkan potensi industri wisata halal. Masyarakat muslim Indonesia bisa menjadi peran penting dalam pengembangan ini.

“Kita bisa melihat permintaan dari mayoritas penduduk kita adalah orang Islam dan penduduk kita adalah 13% dari seluruh populasi Islam dunia,” imbuhnya.

Danau Toba Terus Tingkatkan Fasilitas untuk Wisatawan Muslim

Danau Toba (foto: jadiberita.com)

MTN, Jakarta – Danau Toba terus coba fasilitasi para wisatawan muslim agar semakin nyaman ketika berkunjung ke situs wisata tersebut. Seperti apa?

Dilansir dari CendanaNews, persiapan Danau Toba sebagai destinasi wisata prioritas juga membenahi kesiapan pelaku wisata untuk menyambut para wisatawan muslim. Berbagai langkah dilakukan untuk memastikan setiap lokasi wisata menjadi lokasi ramah muslim.

Direktur Utama Badan Pelaksana Otoritas Danau Toba (BPODT), Arie Prasetyo, menyatakan ada sekira 260 ribu wisatawan berkunjung ke Danau Toba pada tahun 2019, dan 50 persennya berasal dari Malaysia.

“Memang belum bisa dipastikan apakah wisatawan tersebut muslim atau tidak, tapi kita tahu bahwa mayoritas penduduk Malaysia adalah muslim. Sehingga, tidak salah jika Danau Toba juga mempersiapkan wisata ramah muslim agar wisatawan merasa nyaman untuk berkunjung ke Danau Toba, secara khusus atau Sumatera Utara secara umum,” kata Arie di FGD Akademi Pariwisata ULCLA.

Ia menyatakan, bahwa BPODT menargetkan 300 ribu kunjungan wisatawan di tahun 2020 dan untuk menuju ke target tersebut, BPODT berusaha semaksimal mungkin untuk menyediakan fasilitas yang membuat wisatawan nyaman untuk datang, menginap dan makan.

“Destinasi wisata super prioritas Danau Toba dipersiapkan untuk menerima semua wisatawan dari berbagai kalangan, tak terkecuali wisatawan muslim,” ujarnya.

Arie menyebutkan bahwa BPODT mengimbau kepada para pelaku usaha untuk memberikan fasilitas kepada para wisatawan muslim.

“Salah satunya, kami mengimbau kepada pemilik hotel untuk mempersiapkan tanda kiblat dan sajadah dalam tiap kamar hotel. Sehingga wisatawan muslim merasa nyaman untuk beribadah dan menginap di hotel mereka,” ujarnya lagi.

Arie juga meminta kepada para pelaku kuliner dan restoran untuk menyediakan musola dan makanan halal, sehingga wisatawan muslim bisa beribadah selama kunjungannya di daerah Danau Toba serta merasa aman untuk makan.

“Kita bekerjasama dengan MUI untuk sertifikasi. Sudah ada beberapa restoran yang menyajikan menu halal, jadi wisatawan muslim bisa tinggal lebih lama, menginap, dan makan. Tidak ada salahnya juga ada masakan Batak yang halal sehingga bisa menjadi wisata ramah muslim,” tandasnya.

Mengenal Chechnya, Republik Islam di dalam Negara Federasi Rusia

MTN, Jakarta – Chechnya mungkin adalah salah satu negara yang unik, karena bentuknya adalah Republik dalam sebuah Negara Federasi. Seperti apa?

Chechnya adalah sebuah negara Republik yang berada di dalam Negara Federasi Rusia.

Dilansir dari TribunNews, negara dalam negara, mungkin adalah istilah yang tabu bagi banyak negara. Tapi tidak dengan Rusia. Ada 21 daerah di Federasi Rusia yang berstatus republik. Beberapa di antaranya dihuni oleh penduduk mayoritas Muslim. Di antaranya adalah: Bashkortostan, Adygea, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-Balkaria, Karachay-Cherkessia, Tatarstan, dan tentu saja Checnya.

Selayaknya sebuah Republik, setiap daerah ini memiliki presiden, parlemen, bendera, lambang, lagu kenegaraan, serta bahasa resmi selain Bahasa Rusia.

Chechnya adalah yang paling terkenal di antara republik di dalam federasi Rusia.

Selain karena letaknya yang sangat strategis bagi Rusia, perang perjuangan kmerdekaan Chechnya sepanjang tahun 1994-1996, dan 1999-2000, membuat namanya terkenal ke seantero dunia.

Chechen (penduduk asli Chechnya) juga dianggap sebagai salah satu pejuang paling tangguh di dunia.

Republik Chechnya berbatasan dengan Stavropol Krai di barat laut, republik Dagestan di timur laut dan timur, Georgia di selatan, dan republik Ingushetia dan Ossetia Utara di barat.

Republik Chechnya berada di pegunungan Kaukasus Utara dengan ibu kotanya Grozny.

Grozny yang didirikan pada 1818 merupakan pos terdepan militer Rusia. inilah yang menjadi salah satu alasan bagi Rusia untuk tidak mau melepas Chechnya pasca kejatuhan Uni Soviet.

Grozny merupakan pusat industri terkemuka dan salah satu pusat produksi minyak milik Uni Soviet yang pertama. Selain aktivitas pengeboran minyak, Grozny kini juga dilalui oleh jejaring pipa minyak Rusia.

Setelah jatuhnya Uni Soviet, sekelompok pemberontak Chechnya menyatakan bahwa mereka adalah pemerintah yang sah. Dipelopori oleh Dzhokhar Dudayev, seorang Marsekal Udara Soviet, penduduk Chechnya mengumumkan parlemen baru, dan memproklamasikan kemerdekaan mereka sebagai Republik Chechnya Ichkeria.

Pemisahan diri Chechnya menyebabkan Rusia murka dan menyerbu Grozny pada tanggal 1 Desember 1994.

Perang pertama antara Rusia dengan Chechnya dari tahun 1994 sampai 1996 berakhirnya dengan kemerdekaan secara de facto Chechnya. Namun hingga 2004, kemerdekaan mereka tidak diakui negara mana pun.

Sejak deklarasi kemerdekaan pada 1994, Chechnya selalu diliputi konflik bersenjata di mana kelompok-kelompok pejuang Chechnya dan Rusia saling terlibat.

Menurut laporan, pejabat pro-Rusia mengaku bahwa sejak 1994 lebih dari 200.000 pemberontak dan warga sipil telah terbunuh, dan dalam jangka waktu yang sama lebih dari 20.000 anak-anak telah meninggal dan puluhan ribu lainnya menjadi yatim piatu.

Pada tahun 1999, pasukan Rusia kembali menyerbu Grozny, setelah beberapa kelompok pejuang Chechnya juga berupaya merebut wilayah Dagestan yang merupakan republik lainnya di dalam Federasi Rusia. Serbuan kedua kalinya dari pasukan Rusia ini membuat Grozny kembali hancur lebur. Dalam perang kedua kalinya ini, militer Rusia berhasil menguasai kembali Chechnya dan memasukkannya kembali sebagai republik otonom.

Saat ini, Chechnya dipimpin oleh Presiden Ramzan Kadyrov. Pria kelahiran 5 Oktober 1976 ini adalah Presiden Republik Chechnya sejak 15 Februari 2007. Kadyrov dilantik sebagai presiden Chechnya pada 6 April 2007 atas penunjukan Presiden Vladimir Putin.

Saat dilantik sebagai Presiden Republik Chechnya, Ramzan masih berusia 30 tahun. Hal ini menjadikannya sebagai presiden termuda di dunia.

Ramzan sendiri adalah mantan pemimpin pemberontak yang dikenal dekat dengan Kremlin. Ayahnya adalah Akhmad Kadyrov, mantan Presiden Chechnya yang dibunuh pada Mei 2004.

Di bawah kepemimpinan Ramzan, kehidupan di Chechnya kembali membaik. Chechnya kini menjadi salah satu republik berpenduduk mayoritas muslim yang maju di dalam Federasi Rusia.

Hampir 95% penduduk Chechnya adalah Islam dan rata-rata merupakan penganut madzhab Syafi’i yang kuat. Minuman keras dan rokok adalah sesuatu yang dilarang di wilayah Chechnya, termasuk di hotel-hotel berbintang.

Pada tahun 2016, akun Youtube RT Documentary, sebuah jaringan televisi berita internasional multibahasa yang berbasis di Rusia dan didanai oleh pemerintah Rusia, merilis sebuah video yang diberi judul “Chechnya: Republic of Contrasts. High fashion, celebrity parties & Sharia law”.

Dalam deskripsi itu dijelaskan pihak RT ketika menjelajahi Chechnya; sebuah republik kontras, dan melihat bagaimana orang-orang Chechnya mencapai keseimbangan antara tradisi dan modernitas.

Republik Chechnya Rusia telah mengalami kebangkitan setelah dua operasi militer dalam sejarah pasca-Soviet baru-baru ini.

Dalam video tersebut, RT menceritakan bahwa saat ini Chechnya menjadi rumah dari salah satu masjid terbesar dan terindah di Eropa.

Meski melarang keras minuman keras dan rokok, tapi Chechnya menampung selebriti internasional dan bahkan mencoba mode kelas atas.

“Kami menjelajahi republik yang kontras ini untuk melihat bagaimana orang-orang Chechnya mencapai keseimbangan antara tradisi dan modernitas,” tutur pihak RT Documentary.

Video itu merekam bagaimana anak-anak Chechnya belajar dan menghafal Alquran serta menekuni seni bela diri sejak kecil. Sementara para remaja putri juga memiliki tempat dan kesempatan untuk menekuni dunia fashion dan modelling, serta tarian.

Berikut video yang merekam dan mengulas keindahan Chechnya, republik Islam di dalam Federasi Rusia.

https://youtu.be/ELJxh5T9my4

Kota Banjarmasin Coba Kembangkan Industri Wisata Halal

Banjarmasin (foto: gomuslim.co.id)

MTN, Jakarta – Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, coba kembangkan industri wisata halal. Seperti apa?

Sebagai kota yang mayoritas warganya beragama Islam, Pemkot Banjarmasin coba kembangkan industri wisata berbasis muslim.

Dilansir dari Warta Niaga, saat ini, melalui pihak Legislatif, sedang digodok Perda terkait wisata Halal untuk terus mengembangkan destinasi wisata di Kota Seribu Sungai tersebut.

Walikota Banjarmasin, H Ibnu Sina, mengatakan bahwa kota Banjarmasin sangat perlu menegaskan diri sebagai kawasan wisata halal karena penduduknya yang mayoritas muslim.

Wisata halal ini difokuskan untuk menarik wisatawan dari kawasan Timur Tengah dan negara-negara muslim lainnya yang ingin berkunjung ke Banjarmasin.

Wali Kota Banjarmasin, H Ibnu Sina juga menyatakan, konsep pariwisata halal saat ini sedang tren, khususnya wisata kuliner, dan Kalsel memiliki keberagaman kuliner yang bisa ditawarkan melalui label halal.

“Kalau bicara lebih luas lagi di kawasan Asia Pasifik, di mana negara yang tidak mayoritas muslim, misalnya Korea Selatan, kini sudah mulai menjadi kiblat wisata halal dan kita sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim harusnya bisa menerapkan hal itu,” jelasnya.

Korea kini tengah menggenjot industri wisata halal karena mereka mengincar segmen wisatawan dari Timur Tengah, dan Indonesia, khususnya Banjarmasin, yang juga menargetkan hal tersebut.

Semua perubahan menurut H Ibnu Sina harus segera dilakukan untuk mengangkat kembali wisata di Banjarmasin.

Wisata yang merupakan salah satu andalan negara ini untuk meningkatkan devisa negara dinilai harus perlu mengambil langkah konkrit supaya pariwisata bisa dihidupkan kembali paska pandemi selesai nanti.

Diperlukan Adanya Badan Khusus Pengembangan Wisata Ramah Muslim

ilustrasi (foto: matakota.id)

MTN, Jakarta – Industri pariwisata ramah muslim di Indonesia menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar, namun belum ada badan resmi yang menaungi sektor tersebut.

Dilansir dari MinaNews, Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia, Prof. Azril Azahari, PhD, memandang perlunya andil masyarakat dan didukung pemerintah untuk membentuk badan yang khusus dan berfokus menangani pengembangan WRM di Indonesia.

“Saat ini momen tepat untuk membentuk badan khusus menangani pengembangan Wisata Ramah Muslim. MUI, utamanya dua ormas Islam besar seperti Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama diharapkan dapat menginisiasi pembentukan badan ini,” kata Azril.

Selain itu, lanjut Azril, pembentukan badan tersebut sangat penting untuk merumuskan standarisasi serta pemeringkatan bagi destinasi dan layanan Wisata Ramah Muslim, sehingga menjadikan basis untuk pengembangan WRM di Indonesia.

Azril berpendapat konsep Wisata Ramah Muslim yang merupakan ceruk pada wisatawan muslim dengan menyediakan extended services atau layanan tambahan yang diperlukan wisatawan muslim yang tidak terdapat pada wisata konvensional.

Menurutnya, banyak perdebatan persepsi mengenai istilah bahwa istilah Wisata Halal itu membuat akomodasi Islam, kemudian Wisata Muslim atau Wisata Syariah itu syariat-syariat Islam harus diberlakukan di semua tempat.

“Namun sebetulnya Wisata Ramah Muslim ini adalah ceruk pasar baru atau market segmen baru yang perlu kita ambil dengan memberikan kualitas layanan atau services yang dibutuhkan oleh wisatawan muslim. Hal paling penting adalah bagaimana kita memberikan pelayanan kepada wisatawan muslim yang datang supaya dia merasa nyaman,” ujar Azril.

Dia mengatakan, Wisata Ramah Muslim (WRM) yang juga dikenal Muslim Friendly Tourism (MFT) terkonsentrasi di negara-negara OKI secara alamiah dianggap memiliki keunggulan komparatif lingkungan yang lebih ramah terhadap wisatawan internasional muslim bahkan nonmuslim secara universal.

Dalam pengembangannya, WRM merupakan layanan tambahan yang memberikan atmosfir, perjalanan, akomodasi, atraksi, tujuan wisata berbagai barang dan jasa yang ditawarkan merupakan suatu kesatuan dengan ajaran Islam.

WRM tidak hanya berorientasi keuntungan, tapi juga Pemberdayaan masyarakat serta lingkungan hidup dan budaya lokal. Oleh karenanya, WRM merupakan industri pariwisata berbasis komunitas (Community Based Tourism), suatu skema usaha untuk pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi masyarakat lokal.

Pengembangan layanan ini juga terkait dengan ekonomi kreatif dengan menggali budaya lokal yang akan menjadi sumber penciptaan produk kreatif dalam bentuk desain produk suvenir, fashion, furnitur, homestay dan produk-produk lainnya.

Motivasi utama wisatawan adalah karena alam dan budayanya yang merupakan basis WRM dalam mendukung pengembangan industri priwisata. Namun ceruk pasar WRM belum tergarap di Indonesia karena belum adanya lembaga khusus yang menangani hal ini.

Pelurusan Persepsi yang Salah dari Wacana Wisata Halal di Bali

ilustrasi (foto: percutiankebali.com)

MTN, Jakarta – Pihak SAHI (Silahturahmi Umrah dan Haji Indonesia) menyatakan kalau Bali perlu tempat wisata yang ramah muslim.

Dilansir dari NusantaraTV, Ketua DPP Silaturahmi Umrah dan Haji Indonesia (SAHI), Siti Ma’rifah, ketika mengunjungi DPW SAHI Bali, pada Selasa (25/8/2020) mengatakan kalau Bali perlu tempat wisata yang ramah muslim.

Putri Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin tersebut sempat menyinggung kalau ada persepsi yang salah dari wacana tempat wisata ramah muslim di Bali.

“Desa wisata halal di Bali jangan disalahartikan, hanya khusus orang Muslim, dan non-Muslim dilarang masuk atau harus memakai pakaian Muslim, bukan. Tetapi bagaimana Bali yang dianggap (nyaman) untuk turis non Muslim, juga bisa aman dan nyaman untuk turis beragama Islam, walaupun Islam di Bali minoritas,” ujar Siti.

Menurut Siti, halal selayaknya gaya hidup. Sehingga, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari penerapannya.

“Jadi tidak perlu dikhawatirkan, jangan dianggap Islamisasi, jangan,” tutur Siti.

Siti pun mencontohkan Taiwan yang telah menyediakan hotel khusus Muslim. Ia menjelaskan, apabila suatu wilayah telah menegaskan posisinya sebagai kota atau daerah wisata, wilayah itu harus bisa menerima seluruh segmentasi masyarakat dari berbagai penjuru.

Siti menilai penting bagi Bali agar memiliki desa wisata halal. Sehingga turis dari Timur Tengah atau dari belahan dunia yang beragama Islam, semakin nyaman berwisata ke Bali, terlebih dalam urusan ibadah dan wisata kuliner.

“Saya lebih menyebutnya Moslem friendly, jadi Bali perlu memiliki tempat yang Moslem friendly,” kata dia.

Pengembangan Wisata Ramah Muslim di Indonesia Masih Diperlukan

ilustrasi (foto: diarywanitamuslimah.blogspot)

MTN, Jakarta – Meski Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, namun industri wisata ramah muslimnya masih rendah.

Dilansir dari MinaNews, Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia sayangnya posisinya di industri Wisata Ramah Muslim (WRM) masih kalah populer dibanding negara-negara mayoritas penduduk Muslim lainnya.

Ironisnya, masyarakat Indonesia malah menjadi target pasar untuk industri Wisata Ramah Muslim dari negara-negara muslim dan nonmuslim dunia. Ini terlihat dengan meningkatnya promosi wisata ramah Muslim oleh operator asing, yang ditujukan kepada wisatawan Indonesia.

Indonesia sendiri masih minim paket WRM untuk ditawarkan ke luar negeri sehingga belum banyak menggaet wisatawan Muslim mancanegara yang berkunjung ke Indonesia.

Oleh karena itu, perlu dibangun suatu kesatuan pandangan dan aksi nyata yang sinergis oleh seluruh unsur dalam membangun ekosistem pariwisata untuk menumbuhkembangkan industri Wisata Ramah Muslim Indonesia.

Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia, Prof. Azril Azahari, PhD, memandang perlunya andil masyarakat, dan didukung pemerintah, untuk membentuk badan khusus yang berfokus menangani pengembangan WRM di Indonesia.

“Saat ini momen tepat untuk membentuk badan khusus menangani pengembangan Wisata Ramah Muslim. MUI, utamanya, dan dua ormas Islam terbesar seperti Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama diharapkan dapat menginisiasi pembentukan badan ini,” kata ujar Profesor Azril.

Selain itu, lanjut Profesor Azril, pembentukan badan tersebut sangat penting untuk merumuskan standarisasi serta pemeringkatan bagi destinasi dan layanan Wisata Ramah Muslim, sehingga menjadikan basis untuk pengembangan WRM di Indonesia.

Azril berpendapat konsep Wisata Ramah Muslim yang merupakan ceruk pada wisatawan muslim dengan menyediakan extended services atau layanan tambahan yang diperlukan wisatawan muslim yang tidak terdapat pada wisata konvensional.

“Wisata Ramah Muslim ini adalah ceruk pasar baru yang perlu kita ambil dengan memberikan kualitas layanan atau services yang dibutuhkan oleh wisatawan muslim. Hal paling penting adalah bagaimana kita memberikan pelayanan kepada wisatawan muslim yang datang supaya dia merasa nyaman,” ujar Azril.

Profesor Azril juga mengatakan kalau Wisata Ramah Muslim (WRM) yang juga dikenal Muslim Friendly Tourism (MFT) terkonsentrasi di negara-negara OKI yang secara alamiah dianggap memiliki keunggulan komparatif lingkungan, yang lebih ramah ke wisatawan internasional muslim bahkan nonmuslim.

Taiwan Genjot Program Wisata Ramah Muslim

Taipei Grand Mosque

MTN, Jakarta – Taiwan kini sedang menggenjot program wisata ramah muslim di negaranya. Seperti apa?

Dilansir dari TribunNews, Director General Taipei Economic and Trade Office in Surabaya, Lin Dean-Shiang, saat sambutan di acara Taiwan Tourism Workshop di Sheraton Surabaya Hotel, pada akhir Februari 2020 kemarin, mengatakan bahwa negaranya kini tengah menggencarkan promosi wisata halal di Taiwan.

“Pemerintah Taiwan melalui delegasi pariwisatanya kini sedang menggencarkan promosi mengenai wisata halal di Taiwan,” ungkap Lin Dean-Shiang.

Lin juga mengatakan kalau pada tahun 2020 ini, Taiwan mengangkat tema pariwisata pegunungan yang dipadankan dengan wisata kota kecil klasik.

“Dalam promosi pariwisata tersebut, Pemerintah Taiwan ingin memberikan pelayanan terbaik bagi para turis asing yang datang, terutama wisatawan muslim,” jelas Lin Dean-Shiang.

“Kami memang tengah menggencarkan program wisata halal yang ramah terhadap wisatawan muslim. Seperti membangun musala di stasiun kereta api atau tempat publik lainnya,” kata Lin.

Dibangunnya musala di beberapa fasilitas umum tersebut menurut Lin, Dean-Shiang bertujuan untuk memudahkan para wisatawan muslim untuk beribadah.

Menurutnya, selama ini wisatawan muslim masih kesulitan mencari lokasi ibadah di lokasi umum.

Selain memperbanyak tempat ibadah muslim, pihak Pemerintah Taiwan juga memberikan kemudahan mencari makanan halal.

“Di Taiwan saat ini sudah banyak sekali makanan-makanan halal yang bisa dinikmati wisatawan muslim tanpa perlu khawatir. Jadi mereka tidak akan kesulitan mencari makanan halal,” Lin, Dean-Shiang memaparkan.

Menurutnya, upaya tersebut dilakukan untuk semakin menarik kunjungan wisatawan dari negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia.

Lin, Dean-Shiang mengatakan, pihaknya ingin menjamin kenyamanan para wisatawan muslim yang berkunjung ke Taiwan dengan program wisata halal tersebut.