Ini Dia Tiga Objek Wisata Islami di Bali

MTN, Jakarta – Meski Bali dikenal sebagai daerah wisata pantai, ternyata wilayah tersebut juga memiliki sejumlah objek wisata Islami. Apa saja?

Seperti yang dilansir dari PanduAsia, berikut adalah tiga objek wisata Islami yang ada di Bali:

Masjid Al Hidayah Bedugul (foto: Bali Go Private tour)

Masjid Al Hidayah Bedugul

Keberadaan komunitas-komunitas muslim di daerah Bedugul ditambah banyaknya wisatawan beragama Islam yang berkunjung ke Pura Ulun Danu Beratan, menjadikan masyarakat di kawasan Bedugul merasa perlu untuk mendirikan tempat ibadah dan lembaga pendidikan bernuansa Islam.

Sehingga berdirilah pondok pesantren, Madrasah Aliyah serta sebuah masjid yang semuanya diberi nama “Al Hidayah”.

Selain itu, untuk menopang biaya operasional lembaga pendidikan, didirikanlah wisata agro stroberi yang dikelola oleh Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Pondok Pesantren Hidayah Bali.

Bagi wisatawan muslim yang berkunjung ke Pura Ulun Danu, nikmati pula aktifitas berwisata agro stroberi. Karena selain menghadirkan keasyikan tersendiri, wisatawan juga ikut membantu keberlangsungan Pondok Pesantren dan Madrasah Aliyah Al Hidayah.

Wisatawan juga jangan lupa untuk singgah ke Masjid Al Hidayah yang berlokasi di JL Candi Kuning, berseberangan dengan Danau Beratan yang menjadi lokasi dari Pura Ulun Danu. Masjid yang cukup megah dengan desain indah yang dipengaruhi gaya arsitektur Bali ini dibangun di lereng bukit, sehingga untuk mencapai lokasi masjid harus berjalan kaki menapaki anak tangga yang panjang dan tinggi.

Sesampainya di pelataran akan terlihat bangunan masjid berlantai dua yang berdiri dengan gagah. Pengunjung yang berada di sini, tidak hanya dapat menikmati bangunan masjid yang indah, tapi juga eloknya landsekap Danau Beratan dengan Pura Ulun Danu yang ada di kejauhan.

Bila kita lihat jarak dari Masjid Al Hidayah menuju Danau Beratan dan Ulun danu Beratan tidak terlalu berjauhan.hanya dengan berjalan kaki selama kurang lebih 11 Menit kita sudah bisa mencapai ketiga Lokasi tersebut.

Masjid Nurul Huda di Kampung Gelgel, Bali (foto: Google Street View)

Kampung Gelgel dan Masjid Nurul Huda

Bagi wisatawan yang ingin napak tilas sejarah masuknya Islam ke Pulau Bali, wajib untuk berkunjung ke Kampung Gelgel yang ada di Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, karena Gelgel merupakan kampung Islam pertama di Bali dan di kampung ini terdapat masjid bernama Masjid Nurul Huda yang juga masjid pertama di Bali.

Sejarah masuknya Islam ke Pulau Bali berawal dari ekspansi Kerajaan Majapahit yang berhasil menaklukkan Kerajaan Bendahulu pada tahun 1343 M, sehingga Bali sepenuhnya dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Untuk mengatur pemerintahan di Bali, Mahapatih Gajah Mada untuk sementara waktu menunjuk Ki Patih Wulung dan pusat pemerintahan selanjutnya dipindah ke Gelgel oleh Patih Wulung.

Usai penaklukan tersebut Bali mengalami kekosongan pimpinan selama beberapa tahun sebelum akhirnya Gajah Mada menunjuk Sri Aji Kresna Kapakisan yang memiliki garis keturunan dari Raja Airlangga untuk menjadi penguasa di Bali.

Kedatangan Sri Aji Kresna ke Bali sekitar tahun 1357 M dikawal prajurit-prajurit pilihan dan empat puluh diantaranya beragama islam. Para prajurit yang beragama Islam itulah yang selanjutnya mendiami sebuah perkampungan dan mendirikan masjid yang diberi nama “Nurul Huda”.

Masjid tersebut hingga kini masih berdiri kokoh meskipun sudah berdiri sejak abad XIV. Renovasi memang pernah dilakukan beberapa kali, namun sebatas renovasi ringan tanpa sedikitpun merubah bentuk bangunan yang asli, termasuk menara setinggi 17 meter.

Di masjid ini juga dapat dilihat sebuah mimbar tua berbahan kayu jati yang tidak lapuk sedikitpun meskipun sudah berumur ratusan tahun.

Desa Pegayaman, Bali (foto: Roy Teguh Musa)

Desa Pegayaman

Satu lagi kampung Islam di Bali yang menarik untuk dikunjungi adalah Desa Pegayaman yang ada di Kabupaten Buleleng yang jaraknya sekitar 65 km dari Kota Denpasar dan sekitar 9 km dari Kota Singaraja.

Di sini terdapat suku atau etnik yang bernama Nyama Selam yang menganut agama Islam namun dalam kesehariannya tetap menjalankan tradisi lokal sebagaimana penduduk Bali pada umumnya.

Dalam bahasa Bali ‘Nyama’ memiliki arti ‘saudara’ sedang ‘selam’ artinya ‘Islam’. Sehingga arti dari Nyama Selam adalah saudara (dari Orang Bali) yang memeluk agama Islam. Sebutan tersebut mengindikasikan adanya toleransi, karena orang-orang Bali yang beragama Hindu menyebut mereka yang beragama Islam dengan sebutan ‘saudara’, begitu juga yang beragama Islam menyebut orang Bali Hindu dengan sebutan ‘Nyama Bali’.

Etnis Nyama Selam konon merupakan campuran dari tiga etnis berbeda, yaitu Bali, Jawa dan Bugis. Percampuran ketiga etnis tersebut terjadi setelah melewati sejarah yang panjang. Diawali dengan penaklukan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi oleh Kerajaan Buleleng dengan Rajanya Ki Barak Panji Sakti sekira abad XVI.

Penaklukan Kerajaan Blambangan yang kala itu menjadi bagian dari Kerajaan Mataram, terdengar hingga ke Mataram. Penguasa Mataram yang tidak ingin perang terus berlanjut, meminta untuk dilakukan gencatan senjata. Sebagai bentuk penghormatan, Raja Mataram menghadiahi Barak Panji seekor kuda beserta delapan patih yang beragama Islam.

Setelah pulang kembali ke Bali, delapan patih tersebut ditempatkan di Banjar Jawa dan bertugas membantu Kerajaan Buleleng dalam peperangan. Itu sebabnya saat Kerajaan mengwi yang ada di Tabanan menyerang, kedelapan patih tersebut bahu membahu dengan pasukan Kerajaan Buleleng untuk mengusir penyerang hingga akhirnya prajurit Kerajaan Mengwi berhasil ditaklukkan.

Atas jasa-jasanya itulah kedelapan patih dihadiahi lahan di perbatasan Buleleng dan salah seorang patih dihadiahi seorang gadis yang merupakan keturunan Raja Buleleng untuk dinikahi. Sehingga terjadilah percampuran etnis antara Jawa dan Bali.

Di waktu yang berbeda, tepatnya sekitar tahun 1850-an, Raja Hasanuddin yang melakukan ekspedisi laut dari Sulawesi menuju Jawa, kapalnya dihantam ombak dan terdampar di perairan Buleleng. Pasukan Bugis tersebut kemudian menghadap dan meminta pertolongan Raja Buleleng.

Permintaan tersebut dikabulkan oleh Ki Barak Panji Sakti dan mempersilahkan oarang-orang Bugis tersebut untuk memilih, apakah akan tinggal di pesisir laut atau tinggal di desa Pegayaman yang warganya menganut agama yang sama dengan mereka yaitu agama Islam.

Sebagian dari pasukan Hasanuddin itu memilih tinggal di pesisir pantai, sebagian lainnya memilih tinggal di Pegayaman. Kedatangan orang-orang Bugis itulah yang membuat terjadinya percampuran etnis antara Bugis, Bali dan Jawa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *